December 24, 2007

Dari MUSDA KNPI SULSEL

18 Desember 2007

Hotel Singgasana Makassar. Tempat digelarnya Musyawarah Daerah KNPI Sulsel. Aku ke sana janjian bertemu dengan sejumlah senior-seniorku dulunya di HMI. Mereka dari sejumlah daerah di Sulsel dan kebetulan menjadi pengurus KNPI di daerah mereka masing-masing dan ke Makassar untuk mengikuti Musda KNPI. Janjian mengupas Amarah.
Ketika memasuki Hotel Singgasana, aku bertemu dengan Syamsul Rizal atau biasa kusapa Kak Ical yang kini tercatat sebagai Ketua ICMI Muda Sulsel dan anggota DPRD Makassar. Sebelumnya dia terlibat pembicaraan serius dengan Ketua KNPI Makassar hingga kemudian menengurku ketika melihatku.
“Inka.”
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. Ilo yang merupakan pengurus ICMI Muda Maros dan pengurus KNPI yang ada di samping Ical lalu mengatakan, “Kak Ical, Inka ini Wakil Sekretaris ICMI Muda Maros.”
Ical menatapku dan berujar, “Inka kah juga diam-diam ji. Tidak pernah bilang apa-apa.”
Aku kembali menebar senyum.Setelah itu, aku pamit untuk beranjak. Di meja paling sudut, kulihat seniorku di HMI, A Buana A Sommeng, duduk di sebuah meja bundar. Disampingnya ada Ilham Syah Azikin yang merupakan salah satu kandidat ikut memeriahkan bursa perebutan kursi nomor satu di KNPI Sulsel. Aku menjabat tangan mereka.
“Hebat sekali fotota Bos! Majuki Cappo,” kataku pada Ilham. Lelaki yang menjabat sebagai Kabag Humas Pemkab Maros itu tertawa.
Cappo ini adalah sebuah istilah yang kental dipergunakan para tim Syahrul Yasin Limpo saat maju bertarung dalam Pilkada Gubernur Sulsel pada November 2007 lalu. Syahrul yang berpasangan dengan Agus Arifin Nu’mang atau biasa disingkat Sayang bertarung melawan Amin Syam yang berpasangan dengan mantan Rektorku dulu di UMI, Prof Dr Mansyur Ramli, dalam paket Asmara. Pasangan lainnya ikut bertarung adalah Asis Kahar Mudzakkar yang berpasangan dengan Mubly Hamdaling dan merupakan Ketua Kahmi Sulsel dengan paket Pejuang. Kahmi adalah kepanjangan dari Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Cappo ini jika diartikan hampir sama dengan hubungan kekerabatan atau persaudaraan. Dan Ilham adalah salah satu pendukung fanatik Syahrul.
“Bagaimanami bukumu?” tanya Ilham.
“Amanji. Janganmi dulu urus bukuku Bos! Gampangmi itu. Urus dan konsentrasi meki dulu supaya menangki di Musda malam ini,” ujarku.
“Mantap. Bantuka padeng cappo.”
Aku tertawa mendengar Ilham mengungkapkan kalimat itu dengan penuh semangat. Jiwa mudanya memang kuat sekali. Tidak lama, ponselnya berdering dan dia terlihat meninggalkan kursinya sambil mendekatkan ponselnya di telinga. Di Musda, Ilham bertarung melawan Risman dan seniorku di Fakultas Ekonomi UMI dan di HMI bernama Nasrullah.
Aku lalu berdiskusi dengan Buana mengenai Amarah. Dia menjelaskan banyak hal mengenai kasus tersebut. Tidak lama, Abd Razak alias Aca' yang menjabat Ketua Badko HMI Sulselra dan Tom yang merupakan anggota KPU Lutim yang dulunya sama-sama diriku tergabung dalam tim investigasi kasus penyerbuan aparat ke wisma HMI duduk bergabung di meja kami.
“Kak Buana, saya juga mau konfirmasi mengenai lemparan gelas yang pernah dilakukan Kak Rini. Benar tidak?”
Buana kaget. Tom dan Cacank juga kaget. “Beraninya itu Rini Kak Buana,” ujar Aca'. Aku memandang ke arah Buana.
“Serius, senior. Kak Rini mengatakan itu sama saya.”
“Kita harus konfirmasi langsung ke Rini sekarang,” tawar Aca'.
“Iya. Coba kontak Rini,” saranku juga. Tapi Aca' urung melakukannya karena Buana mulai bercerita.
“Jadi mengenai, lemparan gelas itu tidak benar. Nah kalau dia lempar saya dengan pot dan ada bunganya mungkin itu benar. Atau dia lempar saya pakai bunga dan ikut potnya, itu juga mungkin benar.”
Kami semua tertawa mendengar lelucon senior kami itu.
“Atau mungkin dia lempar karena cintanya ditolak,” kataku lagi.
Kami semua semakin tertawa terbahak-bahak.
“Jadi ketika dia lempar saya, datang Aca' tangkis dan akhirnya tidak kena,” kata Buana masih dengan nguyonan.
Kami masih terus tertawa terbahak-bahak.
Tapi aku tidak tahu siapa yang patut dipercaya mengenai lemparan gelas itu. Tapi intinya bukan itu yang ingin kuketahui. Tapi mengenai Amarah.
“Kak Buana dukung siapa di Musda KNPI ini?”
“Ilham.”
“Kalau dari posternya, sebenarnya auranya Ilham kuat sekali menjadi Ketua KNPI Sulsel,” kataku sambil menatap secara bergantian dua poster pasangan calon yang dipasang mengapit pintu masuk ke ruang tempat digelarnya Musda KNPI. Tom, Buana, dan Cacank ikut memperhatikan poster tersebut.
Di sebelah kiri ada foto Ilham mengenakan jaket berwarna biru tersenyum dengan mulut terkunci. Baju biru yang dikenakan itu merupakan baju kebesaran organisasi itu. Lalu di sebelah kanan ada foto Nasrullah juga mengenakan baju yang sama sambil mengepalkan tangan kanannya sedikit terangkat ke atas dengan untaian senyuman dan memperlihatkan deretan giginya.
Tom yang duduk di samping kiriku lalu berujar, “Kamu dukung siapa Inka?”
Aku diam sementara dengan pertanyaan itu. Lalu berujar, “Kak Nasrullah itu seniorku di Fakultas Ekonomi UMI dan di HMI. Nah, kalau Kak Ilham itu, adalah bosku di Maros. Jadi saya bingung pilih siapa. Tapi kalau dipikir-pikir, buat apa saya bingung karena saya tidak punya hak suara. Dan saya bersyukur tidak punya hak suara sehingga tidak perlu pusing memilih siapa-siapa,” ujarku.
Tom tertawa meledekku. “Pada dasarnya saya mendukung keduanya. Dan intinya, siapapun yang terpilih, itulah yang terbaik dan itu yang saya pilih.”
“Bahasa apologi,” Cacank ikut-ikutan meledekku. Aku lalu pamit untuk ke kamar salah satu peserta musda di lantai empat belas.

* * *

Beberapa jam kemudian, aku turun bergabung dengan para seniorku. Saatnya perhitungan suara dimulai. Aku duduk sambil memperhatikan raut wajah orang-orang di hadapanku. Mereka memancarkan wajah tegang. Kak Buana misalnya, tertunduk menatap lantai dan wajahnya sangat tegang. Sedangkan aku, sangat santai sekali.
Beberapa kali, nama Ilham disebut.
“Ilham.”
“Ilham.”
“Nasrullah.”
“Ilham”
“Ilham-Ilham-Ilham-Ilham Syah Azikin-Ilham-Ilham Syah.”
Dan suara tepuk tangan dari dalam forum menggema. Ilham akhirnya yang naik terpilih sebagai Ketua KNPI Sulsel dengan perolehan suara 49 suara, disusul Nasrullah 11 suara, dan Risman hanya empat suara.
Tidak lama, Nasrullah lewat di meja kami. Kami semua berdiri dan memberinya selamat meskipun dia kalah. Setelah itu, dia berlalu. Di ujung sana, kulihat Ilham tidak henti-hentinya menjabat tangan beberapa orang yang ditemuinya.
“Jadi apa bargainingnya KNPI Maros ini?” tanyaku pada ketua KNPI Maros Awal yang kemejaku bersama Boby dan beberapa orang lainnya.
“Itu yang saya pusing juga. Inka ayo makan Mi Titi,” ajak Awal dan aku langsung berdiri dari kursi menyambut dengan antusias ketika dia menyebutkan makanan itu.
“Ayomi padeng Kak Awal. Perutku langsung lapar dengar Mi Titi,” kataku.
“Oke Pak Sopir. Ambil mobil!!” Perintah Awal pada seorang lelaki yang berdiri tidak jauh dari tempatnya dan membuat kami tertawa. Soalnya, stylenya terlihat lucu mengeluarkan perintah itu.
Akhirnya, kami pun bersama sekitar sepuluh orang menuju ke rumah makan andalan kami. Makan Mi Titi. Dalam rombongan itu, semua berasal dari pengurus KNPI Maros kecuali aku.
Pulang makan Mi Titi, ketika memasuki hotel, aku berpapasan dengan seseorang yang sangat akrab di pintu masuk.
“Kayaknya saya kenal sama kamu?” katanya dengan kalimat awal ketika menyapaku. Aku tersenyum dan pura-pura bego.
“Iya. Kayaknya saya juga kenal. Tapi kira-kira kita pernah ketemu di mana, yah?”
Lelaki yang tercatat sebagai pengurus KNPI dan anggota KPU Bulukumba itu lalu mengepalkan tangannya dan mengarahkan tinju ke jidatku dengan sangat pelan.
“Kamu benar-benar.”
Aku tertawa pelan. Alo yang dulunya mantan Ketua HMI Cabang Makassar yang ada di samping Uni ikut tertawa.
“Kak Uni. Kapan dari Bulukumba?” tanyaku dengan mimik serius pada lelaki yang bernama lengkap Syahruni Haris itu.
“Kemarin, Dek. Jadi bukumu terbit tahun depan?”
“Insya Allah, Kak.”
“Ayo pergi makan?” ajaknya.
“Adu, Kak. Saya baru saja selesai makan.”
“Kak Uni, saya mau tanya mengenai pembawa materi ideopolistrata saat LK II HMI itu. Siapa sebenarnya yang bawa materi?”
“Kalau tidak salah ada namanya Alwi.”
“Bukannya Pak Rahmat?”
“Bukan. Kayaknya Alwi. Tapi saya juga lupa ingat.”
“Lalu Kak Buana? Katanya dia yang bawa materi itu. Barusan saya ketemu dengan Kak Buana dan dia bilang yang bawa dia. Trus Kak Ayyub dan Kak Hamka bilang bukan Kak Buana tapi Pak Rahmat. Trus kamu bilang Pak Alwi. Trus yang benar mana?”
Uni terdiam. Seperti berusaha berpikir.
“Saya heran sama kalian ini para saksi sejarah tidak conect komentarnya satu dengan yang lain,” kataku.
Dia menatapku dan tertawa. “Saya punya nama-nama yang membawa materi LK II itu. Saya menyimpannya di sebuah agenda. Nanti saya beritahu siapa yang bawa materi itu,” katanya. Aku mengangguk dan pamit dari hadapannya masuk ke dalam hotel dan menuju ke lantai empat belas. Menuju ke kamar salah satu panitia musda. Aku sudah sangat ngantuk. Sampai di kamar, semua makhluk tidur dengan posisi tidak beraturan dan tertumpuk-tumpuk di lantai. Rasanya, Aku tidak bisa tidur dengan cara seperti ini dan akhirnya aku memilih pulang.

1 comment:

Anonymous said...

wah..para senior hmi semuanya ada..
kak buana legenda pemateri NDP di LK II, klo ceramah dari malam bisa sampe ketemu malam lagi..
sukses dengan bukunya, senior...