December 31, 2007

सलामत Tahun बरुस 2008

DI Malam Tahun Baru. Menyambut Tahun 2008.

PUKUL dua belas tepat. Ketika Makassar diguyur pesta kembang api dari langit. Tapi aku memilih berada di dalam istana ini. Masjid Al Markas Al Islami Makassar. Sebuah kediaman megah merupakan rumah Allah. Menengadahkan tanganku untuk sebuah doa dan harapan serta berucap syukur atas nafas serta roh kehidupan masih kumiliki. Perayaan tanpa terompet, tanpa kembang api, juga tanpa teriakan histeris, dan hentakan musik kadang memecah gendang telinga.
Di sini tidak ada tawa dan nyanyian. Hanya ada bait-bait Allah kulafazkan dari mulutku. Melaksanakan shalat dua rakaat sebagai sujud syukur karena masih diberi kesempatan menyambut tahun 2008.
Semenjak dua tahun silam, dipergantian tahun, kuputuskan memilih menyepi ke masjid ini. Menarik diri dari keramaian yang menurutku bukan zamannya lagi. Duduk tafakur jauh lebih berharga dibandingkan luapan kegembiraan disertai emosi tidak terkontrol dalam menghabiskan malam pergantian tahun.
Malam pergantian tahun dari 2007 ke 2008, hanya sedikit orang sepertiku yang datang merayakan pergantian tahun ke tempat ini. Di shaf perempuan, hanya ada 30 orang saja. Sementara di shaf laki-laki malah lebih sedikit ketimbang jumlah perempuan.
Aku ke rumah suci ini tidak sendiri tapi bersama kakak perempuanku Risma Ridjang Sikati dan keponakanku Hasanah Amirullah Sikati.
Kakak dan keponakanku terlihat khusyu menjalankan shalat dua rakaat. Sementara aku yang sejak beberapa menit lalu sudah lebih dulu melaksanakannya, kini masih berkutat dengan membaca asma Allah.
Dari kaca jendela masjid, aku bisa melihat dengan leluasa pesta kembang api dengan berbagai model di langit berawan bermain-main sambil memancarkan warna warni disertai bunyi pelutut-pelutut.
Malam pergantian tahun ini cuaca masih cukup bersahabat. Sejak pukul tujuh malam sampai dua belas malam, cuaca cerah. Aku masih mengingat dengan jelas di tahun 2007 silam. Malam tahun baru yang dihantam dengan hujan lebat sejak pukul tujuh malam sampai subuh hari.
Di tahun 2008, ada banyak impianku. Terpenting adalah mengenai lauching bukuku berjudul Mencari Jejak Amarah. Sebuah buku sejarah yang mengangkat peristiwa berdarah tewasnya tiga mahasiswa UMI di tanggal 24 April 1996.
Aku lalu memilih membaca puluhan sms yang silih berganti menyerbu ponselku saat kuaktifkan.
Aku membukanya satu-persatu. Ucapan di dalamnya hampir seragam. Seolah-olah janjian. Pada intinya mengucapkan selamat tahun baru 2008.
Ada sebuah ucapan dari Bosku, Uki M Kurdy. Pak Uki adalah pimpinan redaksi Koran Tribun Timur tempatku bekerja.
Isinya :
Selamat Tahun Baru 2008. Akemashite omedetou gozaimasu. Kotoshi ha seikou to siawase ni narimasu youni oinori moushiagemasu, Amin (Uki M Kurdi).



Aku hanya membalasnya: Selamat Tahun Baru Juga BOS!

Kemudian sms itu ku forward ke sejumlah temanku agar mereka pusing bagi yang tidak mengerti artinya.

Aku membaringkan tubuhku di atas sajadah. Memandang langit-langit masjid yang diramaikan dengan lampu hias berukuran raksasa. Indah dan megah sekali masjid ini. Kututup bola mataku dan mencoba merasakan keheningan malam. Aku merasa sangat gemetar mendengar bunyi pelutut-pelutut di angkasa yang seolah-olah seperti bunyi ledakan bom yang datang menghantam dan meluluklantakkan Kota Makassar. Entah mengapa, aku menjadi takut mendengar suara itu. Aku tiba-tiba membayangkan diriku berada di sebuah padang luas kemudian melihat banyaknya orang-orang berteriak-teriak minta pertolongan untuk menghindari hujaman benda pijar dari angkasa.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Bersyukur karena pilihanku di malam tahun baru berada lebih dekat denganMU, Ya Allah.
Tiba-tiba, setelah 20 menit berlalu dari pukul duabelas malam, gerimis kembali turun. Aku memutuskan pulang ketika jalanan mulai sedikit sunyi dari hiruk pikuk kendaraan.
Gerimis masih mengiringi perjalananku sampai di rumah. Dan ketika kuparkir kendaraan persis di depan rumah, tiba-tiba butiran hujan sebesar kelereng jatuh menghantam bumi disertai angin kencang. kubersyukur. Untung saja aku telah tiba di rumah.
Aku turun dari mobil dan melangkah dengan berjinjit untuk menghindari genangan air. Suara angin yang berdesir masih terdengar dan mengatup semua bulir.
Sebelum tidur, aku berkumpul bersama saudara-saudaraku di ruang keluarga. Di rumah, Ibuku tercinta membuat masakan spesial khusus menyambut tahun baru. Makanan spesial yang selalu tersaji setiap pergantian tahun. Seperti Lebaran rasanya. Ada buras dan opor ayam.
Pukul empat lewat lima belas menit. Aku mulai merasakan kepalaku berat dan sudah tidak bisa diajak kompromi. Inilah jam melewati jam ngantukku. Aku bergegas ke tempat tidur untuk segera mengistirahatkan mataku. Tidur.

December 30, 2007

Pramuka Maros Belajar Menulis Berita


December 24, 2007

Mengenang Kepergian Sang Fotografer Cakrawala IDE UPPM UMI

Hatiku bagai teriris sembilu mengenang lelaki bernama lengkap MJ Nasrullah itu. Menjadi terkoyak-koyak ketika benda-benda yang sangat disayanginya diobrak-abrik oleh polisi. Polisi yang menyerbu dan memporak-porandakan Sekretariat kami, Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa (UPPM), pada kasus 1 Mei 2004 silam.
Setelah penyerbuan itu, aku sempat melihat langsung kondisi Sao Kareba UPPM yang ada di Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) bersama seniorku di UPPM UMI, Baldi dan Selle KS Dalle. Mata kami berkaca-kaca, hati kami perih dan teriris-iris. Sekretariat yang kami gelari Sao Kareba UPPM dan begitu kami bangga-banggakan, tempat kami belajar mengenal hidup, tempat kami saling berbagi dalam suka dan duka, dianggap laiknya tempat sampah dan tidak punya nilai. Benda-benda yang menghiasi ruangan tidak lagi memiliki bentuk. Komputer, meja, kursi, berserakan tidak beraturan di lantai.
Dan paling menyakitkan hati kami adalah box yang terbuat dari kaca, tempat menyimpan barang-barang peninggalan almarhum dipecahkan. Kamera yang sudah dianggap istrinya dihancurkan dengan ujung kamera sudah tidak berlensa lagi. Kaca lensa hancur dan menjadi pecahan-pecahan kecil berserakan di lantai bercampur dengan kaca box.
Buku-buku kesayangannya disobek-sobek tidak beraturan. Sampul buku dengan judul Karl Mark terpisah dari halaman pertama, sampul buku Cheu Ghuevara menjadi dua potongan, halaman-halaman buku Kahlil Gibran berserakan di dalam box setelah disobek-sobek.
Air mataku tumpah melihat semua pemandangan memilukan itu. Betapa rendahnya nilai peninggalan orang yang kami cintai dimata mereka. Betapa murahannya sekretariat yang kami anggap suci dan menjadi surga kami.
Aku sedih mengingat semua. Mengingat putra kelahiran Pinrang angkatan 99 di Fakultas Teknologi Industri itu. Ullah yang menjadi korban penikaman atas perkelahian antara salah satu lembaga UKM dan fakultas di Kampus UMI di tahun 2000. Sebuah tikaman mendarat di perut sebelah kirinya ketika mendokumentasikan perkelahian itu dan berujung pada kepergian untuk selama-lamanya.
Entah siapa yang melakukan perbuatan biadab dan naif itu? Kami menjadi orang-orang rapuh, tertunduk lemas mendengar kabar kepergian sang fotografer Cakrawala IDE UPPM. Sakir yang menjadi orang linglung mencari pelaku penikaman, Selle yang menjadi sangat marah dan langsung meminta pihak Rektorat tegas, juga Iffank yang geram dengan aksi mahasiswa yang terlibat perkelahian. Dan aku? Aku yang menjadi seperti orang yang baru saja patah hati ditinggal kekasih. Mana mungkin aku melupakanmu Ullah. Baru sepuluh menit lalu, sebelum ajal menjemputnya, kita bertengkar hebat hanya karena sebuah kalung dengan mainan gigi ikan paus. Ullah yang mengaku jatuh cinta dengan kalungku dan mengemis agar diberikan padanya. Tapi aku menolaknya mentah-mentah. Tapi kemudian akupun mengalah setelah dia memelas padaku dengan alasan kalung itu hanya dipinjamnya.
Kalung yang merupakan pemberian temanku yang memiliki usaha di bidang perhiasan dari bahan dasar hewan bernama Cano. Dan selanjutnya, beberapa menit kemudian aku tersentak kaget mendengar dia telah meninggal. Air mataku tumpah dan membuatku terhempas tidak berdaya. Meninggal dengan sebuah kalung melingkar di lehernya. Kalung yang akhirnya kuniatkan tidak akan kuambil lagi dan ikhlas kuberikan padanya.
Terlalu banyak kenangan bersamanya. Dan aku masih mengingat dengan jelas seminggu sebelum ajal menjemputnya, di depan mataku, di pelataran Gedung DPRD Sulsel, 6 April 2000, dia menjadi korban pemukulan Kasat IPP Poltabes Makassar Andi Patawari kala itu saat aksi buruh. Selanjutnya, dia diseret dan mendekam di tahanan. Aksi buruh yang dilakukannya untuk memperjuangkan nasib petani.
Ullah yang bercita-cita menjadi orang merdeka, dan selalu berteriak lantang,” Aku ingin menjadi petani sosialis!! menjadi fotografer handal!! Dan menjadi demonstran sejati!!” Ullah kamu telah menjadi martil bagi kami.

Untukmu yang pernah berbekas di hatiku dan sama-sama perna teriak, LAWAN!!

Dari MUSDA KNPI SULSEL

18 Desember 2007

Hotel Singgasana Makassar. Tempat digelarnya Musyawarah Daerah KNPI Sulsel. Aku ke sana janjian bertemu dengan sejumlah senior-seniorku dulunya di HMI. Mereka dari sejumlah daerah di Sulsel dan kebetulan menjadi pengurus KNPI di daerah mereka masing-masing dan ke Makassar untuk mengikuti Musda KNPI. Janjian mengupas Amarah.
Ketika memasuki Hotel Singgasana, aku bertemu dengan Syamsul Rizal atau biasa kusapa Kak Ical yang kini tercatat sebagai Ketua ICMI Muda Sulsel dan anggota DPRD Makassar. Sebelumnya dia terlibat pembicaraan serius dengan Ketua KNPI Makassar hingga kemudian menengurku ketika melihatku.
“Inka.”
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. Ilo yang merupakan pengurus ICMI Muda Maros dan pengurus KNPI yang ada di samping Ical lalu mengatakan, “Kak Ical, Inka ini Wakil Sekretaris ICMI Muda Maros.”
Ical menatapku dan berujar, “Inka kah juga diam-diam ji. Tidak pernah bilang apa-apa.”
Aku kembali menebar senyum.Setelah itu, aku pamit untuk beranjak. Di meja paling sudut, kulihat seniorku di HMI, A Buana A Sommeng, duduk di sebuah meja bundar. Disampingnya ada Ilham Syah Azikin yang merupakan salah satu kandidat ikut memeriahkan bursa perebutan kursi nomor satu di KNPI Sulsel. Aku menjabat tangan mereka.
“Hebat sekali fotota Bos! Majuki Cappo,” kataku pada Ilham. Lelaki yang menjabat sebagai Kabag Humas Pemkab Maros itu tertawa.
Cappo ini adalah sebuah istilah yang kental dipergunakan para tim Syahrul Yasin Limpo saat maju bertarung dalam Pilkada Gubernur Sulsel pada November 2007 lalu. Syahrul yang berpasangan dengan Agus Arifin Nu’mang atau biasa disingkat Sayang bertarung melawan Amin Syam yang berpasangan dengan mantan Rektorku dulu di UMI, Prof Dr Mansyur Ramli, dalam paket Asmara. Pasangan lainnya ikut bertarung adalah Asis Kahar Mudzakkar yang berpasangan dengan Mubly Hamdaling dan merupakan Ketua Kahmi Sulsel dengan paket Pejuang. Kahmi adalah kepanjangan dari Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Cappo ini jika diartikan hampir sama dengan hubungan kekerabatan atau persaudaraan. Dan Ilham adalah salah satu pendukung fanatik Syahrul.
“Bagaimanami bukumu?” tanya Ilham.
“Amanji. Janganmi dulu urus bukuku Bos! Gampangmi itu. Urus dan konsentrasi meki dulu supaya menangki di Musda malam ini,” ujarku.
“Mantap. Bantuka padeng cappo.”
Aku tertawa mendengar Ilham mengungkapkan kalimat itu dengan penuh semangat. Jiwa mudanya memang kuat sekali. Tidak lama, ponselnya berdering dan dia terlihat meninggalkan kursinya sambil mendekatkan ponselnya di telinga. Di Musda, Ilham bertarung melawan Risman dan seniorku di Fakultas Ekonomi UMI dan di HMI bernama Nasrullah.
Aku lalu berdiskusi dengan Buana mengenai Amarah. Dia menjelaskan banyak hal mengenai kasus tersebut. Tidak lama, Abd Razak alias Aca' yang menjabat Ketua Badko HMI Sulselra dan Tom yang merupakan anggota KPU Lutim yang dulunya sama-sama diriku tergabung dalam tim investigasi kasus penyerbuan aparat ke wisma HMI duduk bergabung di meja kami.
“Kak Buana, saya juga mau konfirmasi mengenai lemparan gelas yang pernah dilakukan Kak Rini. Benar tidak?”
Buana kaget. Tom dan Cacank juga kaget. “Beraninya itu Rini Kak Buana,” ujar Aca'. Aku memandang ke arah Buana.
“Serius, senior. Kak Rini mengatakan itu sama saya.”
“Kita harus konfirmasi langsung ke Rini sekarang,” tawar Aca'.
“Iya. Coba kontak Rini,” saranku juga. Tapi Aca' urung melakukannya karena Buana mulai bercerita.
“Jadi mengenai, lemparan gelas itu tidak benar. Nah kalau dia lempar saya dengan pot dan ada bunganya mungkin itu benar. Atau dia lempar saya pakai bunga dan ikut potnya, itu juga mungkin benar.”
Kami semua tertawa mendengar lelucon senior kami itu.
“Atau mungkin dia lempar karena cintanya ditolak,” kataku lagi.
Kami semua semakin tertawa terbahak-bahak.
“Jadi ketika dia lempar saya, datang Aca' tangkis dan akhirnya tidak kena,” kata Buana masih dengan nguyonan.
Kami masih terus tertawa terbahak-bahak.
Tapi aku tidak tahu siapa yang patut dipercaya mengenai lemparan gelas itu. Tapi intinya bukan itu yang ingin kuketahui. Tapi mengenai Amarah.
“Kak Buana dukung siapa di Musda KNPI ini?”
“Ilham.”
“Kalau dari posternya, sebenarnya auranya Ilham kuat sekali menjadi Ketua KNPI Sulsel,” kataku sambil menatap secara bergantian dua poster pasangan calon yang dipasang mengapit pintu masuk ke ruang tempat digelarnya Musda KNPI. Tom, Buana, dan Cacank ikut memperhatikan poster tersebut.
Di sebelah kiri ada foto Ilham mengenakan jaket berwarna biru tersenyum dengan mulut terkunci. Baju biru yang dikenakan itu merupakan baju kebesaran organisasi itu. Lalu di sebelah kanan ada foto Nasrullah juga mengenakan baju yang sama sambil mengepalkan tangan kanannya sedikit terangkat ke atas dengan untaian senyuman dan memperlihatkan deretan giginya.
Tom yang duduk di samping kiriku lalu berujar, “Kamu dukung siapa Inka?”
Aku diam sementara dengan pertanyaan itu. Lalu berujar, “Kak Nasrullah itu seniorku di Fakultas Ekonomi UMI dan di HMI. Nah, kalau Kak Ilham itu, adalah bosku di Maros. Jadi saya bingung pilih siapa. Tapi kalau dipikir-pikir, buat apa saya bingung karena saya tidak punya hak suara. Dan saya bersyukur tidak punya hak suara sehingga tidak perlu pusing memilih siapa-siapa,” ujarku.
Tom tertawa meledekku. “Pada dasarnya saya mendukung keduanya. Dan intinya, siapapun yang terpilih, itulah yang terbaik dan itu yang saya pilih.”
“Bahasa apologi,” Cacank ikut-ikutan meledekku. Aku lalu pamit untuk ke kamar salah satu peserta musda di lantai empat belas.

* * *

Beberapa jam kemudian, aku turun bergabung dengan para seniorku. Saatnya perhitungan suara dimulai. Aku duduk sambil memperhatikan raut wajah orang-orang di hadapanku. Mereka memancarkan wajah tegang. Kak Buana misalnya, tertunduk menatap lantai dan wajahnya sangat tegang. Sedangkan aku, sangat santai sekali.
Beberapa kali, nama Ilham disebut.
“Ilham.”
“Ilham.”
“Nasrullah.”
“Ilham”
“Ilham-Ilham-Ilham-Ilham Syah Azikin-Ilham-Ilham Syah.”
Dan suara tepuk tangan dari dalam forum menggema. Ilham akhirnya yang naik terpilih sebagai Ketua KNPI Sulsel dengan perolehan suara 49 suara, disusul Nasrullah 11 suara, dan Risman hanya empat suara.
Tidak lama, Nasrullah lewat di meja kami. Kami semua berdiri dan memberinya selamat meskipun dia kalah. Setelah itu, dia berlalu. Di ujung sana, kulihat Ilham tidak henti-hentinya menjabat tangan beberapa orang yang ditemuinya.
“Jadi apa bargainingnya KNPI Maros ini?” tanyaku pada ketua KNPI Maros Awal yang kemejaku bersama Boby dan beberapa orang lainnya.
“Itu yang saya pusing juga. Inka ayo makan Mi Titi,” ajak Awal dan aku langsung berdiri dari kursi menyambut dengan antusias ketika dia menyebutkan makanan itu.
“Ayomi padeng Kak Awal. Perutku langsung lapar dengar Mi Titi,” kataku.
“Oke Pak Sopir. Ambil mobil!!” Perintah Awal pada seorang lelaki yang berdiri tidak jauh dari tempatnya dan membuat kami tertawa. Soalnya, stylenya terlihat lucu mengeluarkan perintah itu.
Akhirnya, kami pun bersama sekitar sepuluh orang menuju ke rumah makan andalan kami. Makan Mi Titi. Dalam rombongan itu, semua berasal dari pengurus KNPI Maros kecuali aku.
Pulang makan Mi Titi, ketika memasuki hotel, aku berpapasan dengan seseorang yang sangat akrab di pintu masuk.
“Kayaknya saya kenal sama kamu?” katanya dengan kalimat awal ketika menyapaku. Aku tersenyum dan pura-pura bego.
“Iya. Kayaknya saya juga kenal. Tapi kira-kira kita pernah ketemu di mana, yah?”
Lelaki yang tercatat sebagai pengurus KNPI dan anggota KPU Bulukumba itu lalu mengepalkan tangannya dan mengarahkan tinju ke jidatku dengan sangat pelan.
“Kamu benar-benar.”
Aku tertawa pelan. Alo yang dulunya mantan Ketua HMI Cabang Makassar yang ada di samping Uni ikut tertawa.
“Kak Uni. Kapan dari Bulukumba?” tanyaku dengan mimik serius pada lelaki yang bernama lengkap Syahruni Haris itu.
“Kemarin, Dek. Jadi bukumu terbit tahun depan?”
“Insya Allah, Kak.”
“Ayo pergi makan?” ajaknya.
“Adu, Kak. Saya baru saja selesai makan.”
“Kak Uni, saya mau tanya mengenai pembawa materi ideopolistrata saat LK II HMI itu. Siapa sebenarnya yang bawa materi?”
“Kalau tidak salah ada namanya Alwi.”
“Bukannya Pak Rahmat?”
“Bukan. Kayaknya Alwi. Tapi saya juga lupa ingat.”
“Lalu Kak Buana? Katanya dia yang bawa materi itu. Barusan saya ketemu dengan Kak Buana dan dia bilang yang bawa dia. Trus Kak Ayyub dan Kak Hamka bilang bukan Kak Buana tapi Pak Rahmat. Trus kamu bilang Pak Alwi. Trus yang benar mana?”
Uni terdiam. Seperti berusaha berpikir.
“Saya heran sama kalian ini para saksi sejarah tidak conect komentarnya satu dengan yang lain,” kataku.
Dia menatapku dan tertawa. “Saya punya nama-nama yang membawa materi LK II itu. Saya menyimpannya di sebuah agenda. Nanti saya beritahu siapa yang bawa materi itu,” katanya. Aku mengangguk dan pamit dari hadapannya masuk ke dalam hotel dan menuju ke lantai empat belas. Menuju ke kamar salah satu panitia musda. Aku sudah sangat ngantuk. Sampai di kamar, semua makhluk tidur dengan posisi tidak beraturan dan tertumpuk-tumpuk di lantai. Rasanya, Aku tidak bisa tidur dengan cara seperti ini dan akhirnya aku memilih pulang.

Catatan kecil bersama keponakanku (2)


BEBERAPA jam kemudian. Aku duduk di ruang tamu. Di luar, adik paling bungsuku, Rusdi, memperbaiki mobil kakak pertamaku, Udin, yang barusan ditabrak pete-pete dari belakang. Kulihat Putri ikut disampingnya memperhatikan Om kesayangannya itu sambil duduk berjongkok.
Sesekali Putri diperintah untuk mengambil alat-alat bengkel yang ada di dalam box dan dengan lincahnya, dia menemukan benda itu setelah mendapat gambaran model benda tersebut dari adikku.
“Put, ambilin lagi Om benda yang panjang, ujungnya bundar ada tulisan limanya.” Ketika perintah itu usai terdengar, Putri dengan lincahnya mengobrak abrik box dan selanjutnya, “Nih, Om.”
Adikku lalu tersenyum sambil memujinya, “Ade Puput pintar.” Yang dipuji tampak kegirangan.
Sementara itu, kulihat Rahmat tertidur dengan pulas di karpet yang ada di depan televisi sambil mendekap Linda. Mungkin dia kecapean menangis.
“Barusan Rahmat lucu sekali. Masa boneka dibilang anaknya. Trus dia bilang lagi, aku tidak bisa hidup tanpa anakku,” kataku sambil tertawa ketika melihat istri kakakku baru saja datang dengan kantong belanjaan bertulis Matahari.
Perempuan yang pernah menjadi anggota legislatif dari Golkar di Sanggata itu lalu berujar,”Iya. Itu nah kalau di rumah, sebelum Kaka pergi sekolah, pasti pamit sama bonekanya.”
“Masa, sih?”
“Iya, dia ngomong, kamu tidur, yah, Nak. Aku sekolah dulu. Pulang sekolah juga gitu. Dia tanya ma bonekanya, kamu udah makan, blom, Nak? Kalau belum, aku akan ambilin kamu makanan anakku sayang,” katanya sambil tertawa.
Aku ikut tertawa mendengar perkataan iparku itu.
“Itu anak benar-benar,” kataku sambil geleng-geleng dan masih dengan tawa yang kubiarkan terhempas keluar. Aku tidak bisa menahannya. Dan seperti biasa, tiap aku tertawa perutku ikut sakit. Aku menuju menuju ke kamar masih dengan tawa lebar bahkan sangat lebar. Lucu sekali itu anak.

* * *

SEPERTI janjiku, malamnya, aku mengajak kedua keponakanku ke TimeZone yang ada di Panakukang bermain. Mereka asyik bermain bola basket. Seperti biasa, Putri lebih gesit memasukkan bola ke dalam keranjang daripada kakaknya.
Pukul 19.30 Wita. Sebuah sms masuk ke ponselku.

“Ka, anak-anak ngumpul di KopiZone. Ke sini.”

Pesan singkat dari Ida itu lalu kubalas. “Saya lagi di Diamond. Iya nanti.”
Letak Diamond dan KopiZone masih satu kompleks. Aku melihat kedua keponakannku berlomba memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Sudah berantem kini akur lagi. Mereka memang seperti itu. Berantem kemudian Akur, Berantem lagi lalu akur lagi, dan begitu seterusnya. Seandainya para politisi-politisi kita seperti itu.
Aku sebenarnya ingin bergabung dengan kawan-kawanku. Tapi keponakanku? Kemudian aku kepikiran untuk menitip keponakanku di sebuah permainan rumah-rumahan. Aku lalu mengajak dua bocah itu bermain di lantai dasar Ramayana saja. Di situ ada permainan rumah-rumah tingkat empat yang dikelilingi sebuah besi. Didalamnya, ada balon-balon, luncuran, bola-bola, dan ayunan.
Permainan itu kubayar limapuluh ribu untuk mereka berdua. Tempat itu kuanggap aman untuk mereka bermain. Orangtuanya tiap kali belanja juga selalu melakukan hal sama. Meninggalkan anaknya bermain di mal dan mereka sibuk bebelanja keliling mal. Tapi aku masih ragu meninggalkannya. Kini aku duduk di sebuah kursi sambil memperhatikan keduanya saling dorong-dorongan di mainan luncuran. Hatiku masih saling tanya jawab. Pergi-tidak. Pergi-tidak. Aku belum membuat keputusan.
Rahmat dari jauh menatapku dan kemudian menuju ke arahku. “Tante kalau kamu mau pergi, pergi aja. Biar Kaka dan Ade Puput dititip di sini aja main sepuasnya,” ujar Rahmat yang membuatku kaget.
Kebetulan sekali. Rupanya bocah kecil yang sejak umur tiga tahun sudah mengenal komputer, sedikit pandai Bahasa Inggris, paling suka main game apalagi game catur ini, membaca pikiranku. Setelah mengungkapkan itu, dia lalu berlari masuk ke dalam bangunan rumah-rumahan.
Aku lalu berteriak memanggilnya diiringi dengan isyarat tangan, “Kaka. Sini dulu kamu.”
Dia tergopoh-gopoh kembali ke arahku. “Nggak apa-apa aku tinggalin kamu di sini main?”
Dia mengangguk.
Aku lalu berpesan padanya untuk tidak nakal dan menjaga adiknya.
“Jaga Ade Puput. Jangan nakal. Tante mau ke tempat teman. Nanti Tante balik jemput. Jam sepuluh tepat,” kataku sambil menyerahkan dua minuman Susu Indomilk botol dan disambut dengan anggukannya.
“Ingat, kalau ada yang ngajak pergi jangan ikut, yah,”pesanku lagi dan meninggalkan satu ponselku untuknya untuk dipakai jika ingin menghubungiku. Aku juga titip pesan sama penjaga mainan untuk menjaganya.
“Mbak tolong kodong dua anakku itu dijaga.”
Si penjaga mengangguk tapi sedikit kaget, “Oh itu anaknya, yah?”
Aku mengangguk. Penjaga itu mungkin tidak percaya dengan perkataanku barusan. Karena wajahku dan wajah keponakanku itu memang tidak mirip. Kedua wajah keponakanku lebih didominasi wajah ibunya ketimbang kakakku yang wajahnya sedikit mirip dengan diriku. Tapi aku tidak mau pusing. Dari jauh dua keponakanku bermain bersama dan tertawa-tawa riang. Mereka begitu menikmati indahnya masa kecil.


* * *

AKU lalu menuju ke KopiZone. Di sana, pengurus HMI dari Komisariat Ekonomi sudah berkumpul.
“Kak Iffank dalam perjalanan ke sini,” ujar Ida ketika aku duduk.
“Oh, yah!!” Kak Iffank adalah seniorku di Ekonomi dan pernah aktif ber HMI. Lelaki bernama lengkap Nirfan Arhat itu sekarang lebih banyak beraktifitas di Jakarta. Tidak lama orang yang kutunggu datang. Dia kaget melihatku dan aku juga kaget melihat perubahannya. Sedikit gemuk. Entah mengapa, kawan-kawan lama yang kutemui badanya semakin melebar. Mungkin mereka telah sukses menaklukkan dunia.
Aku berdiskusi dengan Iffank. Setelah Iffank pamit, aku membuka laptop dan melihat portal http;//www.tribun-timur.com.
“Inka, Kak Olleng,” Ida berujar.
Aku mengangkat kepala dan mencari nama yang barusan disebut Ida. Dan ketika kutangkap bayangnya aku memanggilnya. “Kak Olleng.” panggilku saat melihatnya melintas di hadapanku. Dia menghampiriku dan aku mengulurkan tangan menjabat tangannya.
“Kapanki datang dari Jakarta?” tanyaku pada lelaki yang bernama lengkap Syamsuddin Rajab dan kini menjadi Ketua Umum PBHI Pusat.
“Sudah beberapa hari, Dek. Rumahku yang di Manuruki baru saja terbakar. Bukuku semua habis terbakar,” ujar lelaki bertubuh subur itu dan membuatku kaget.
“Astaga!!!”
“Jadi buku yang saya janji juga ikut terbakar,” katanya dan kubalas dengan kata tidak apa-apa.
“Kak, saya mau Kak Olleng berkomentar di bukuku. Soalnya nilai jualnya sekarang Kak Olleng tinggi,” kataku sambil bergurau dan membuatnya tertawa.
“Ah! Kamu itu!!”
“Seriuska, Kak.”
“Oke kalau gitu. Nanti kukirim melalui e-mailmu,” katanya dan memperlihatkan telapak tanggannya di udara dan berujar lagi, “Ces dulu padeng.”
“Oke,” sambungku sambil meng-tos telapak tangannya. Dia kini berlalu. Pukul sepuluh, aku lalu pamit sama teman-teman dan menjemput dua bocah yang tadi kutitip di lantai dasar Ramayana bermain. Aku penasaran sama mereka berdua. Apakah berantem lagi?

Catatan kecil bersama keponakanku (1)








Suara ribut-ribut di luar kamar membuatku buyar dari konsentrasi menggarap buku Amarah Jilid Dua. Aku keluar kamar dan kulihat dua bocah saling umpat mengumpat. Aku berusaha melerai dua keponakanku yang sedang bertikai. Dua bocah yang bertikai itu namanya Putri Ansari Ridwan Sikati (6) dan Rahmat Ridwan Sikati (7). Putri biasa dipanggil Ade Puput dan Rahmat dipanggil Kaka. Kedua bocah itu adalah kakak beradik dan merupakan anak kakak ketigaku, Ridwan atau dipanggil Iwan, yang tinggal dan menetap di Kalimantan. Keduanya datang ke Makassar dibawa orangtuanya untuk liburan di Makassar. Ayahnya mengambil cuti selama sebulan dari tempatnya bekerja di perusahaan tambang Sanggata, Kalimantan Timur, bernama Kaltim Prima Coal (KPC).
“Ada apa Kaka menangis, Put? tanyaku dengan bahasa sedikit logat pada Putri yang berdiri menatap kakaknya yang menangis. Bahasa logat yang sering kugunakan setiap ngobrol dengan dua bocah centil itu.
Aku lalu menenangkan si sulung yang kini tengah menangis dengan posisi badan sandar di tembok sambil duduk.
“Ka diam, Ka. Kok nangis terus, sih…..”
“A-de Pu-put ja-hat,” ujarnya dengan terbata-bata.
“Iya kenapa?”
“Jahat. Ade Puput Jahat-Ade Puput Jahat.” Rahmat mengeluarkan kalimat itu berulang-ulang diiringi isak tangis dan nafas ngos-ngosan sambil dua kakinya digosok silih berganti di lantai.
“Aku nggak bisa hidup tanpa anakku, Tante.” Tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutnya. Dan tentunya membuatku tercengang, tersentak, dan juga cukup kaget. Khususnya pada kalimat, aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Apa maksudnya dia mengungkapkan itu?
“Aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Anakkuuu, Tante….” Kalimat itu dia ulangi lagi dan aku benar-benar penasaran dan mencoba mencari tahu apa maksud perkataannya barusan.
Aku menatap Putri tajam. “Ka-ka mau ngambil i-ni-ni. Puput nggak mau, Tante,” ujar Putri dengan polos disertai gerakan kepala silih berganti ke kanan dan kekiri sambil menunjuk sebuah benda yang ada di tangannya dengan bantuan matanya.
Aku memperhatikan benda yang kini dipeluk Putri dengan erat. Aku kemudian mengerti yang dimaksud anaknya mungkin benda itu. Ketika menyadari yang dimaksud keponakanku itu anaknya adalah benda itu, aku langsung tertawa lepas dan kini menjadi tawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak, boneka dibilangin anaknya.
Dan tawaku membuat si sulung semakin menangis sejadi-jadinya. Mungkin dia merasa tawaku meledeknya. Aku merasa berdosa membuatnya semakin sedih dan mencoba membujuknya untuk diam.
“Ka diam Ka. Nanti Tante beliiin kamu boneka lagi, yah,” rayuku masih dengan berusaha menekan tawa.
“Nggak mauuuuuu. Aku mauuu anakkuuuuu yang di Ade Puput. Aku mau Lindaku. Aku nggak bisa hidup tanpa anakku. Oh Lindaku,” katanya kemudian dengan tangis sejadi-jadinya semakin keras. Dan aku menahan tawa sambil menutup mulut dengan tanganku. Perutmu mulai merintih karena kesakitan menahan tawa.
Tiga boneka yang ada di tangan Putri itu salah satunya diberi nama Linda. Lainnya ada bernama Lami dan Patrick. Cuman aku tidak tahu mana Lami dan mana Patrick. Tapi Linda adalah boneka dengan bentuk seperti kucing, berkumis, dan punya ekor memanjang. Dari cerita kakakku, boneka itu sebenarnya dipajang di belakang mobilnya sebagai aksesoris, tapi Rahmat mencabutnya. Kakakku sendiri dan istrinya sempat bingung kenapa anaknya memberi nama Linda pada boneka itu. Karena nama boneka itu tidak nyambung dengan bentuknya. Tapi dari Putri terungkap jika kakaknya naksir sama anak baru di sekolahnya bernama Linda. Anak salah seorang pejabat di Sanggata. Macam-macam saja.
Putri juga ikut-ikut mengejek kakaknya dengan intonasi berirama, “Jangan ambil anakku-jangan ambil anakku. Sungguh terlalu!! Ini punyaku, Kakak!!” Matanya melotot sinis memandang kakaknya. Rahmat semakin meraung-raung di lantai. Air matanya terus merembes keluar. Kuusap air matanya pakai ibu jariku. Lalu mendekapnya ke dalam pelukanku untuk menenangkannya dan aku masih sekuat tenaga mencoba menetralisir agar segera menghentikan tawaku.
Putri terus mengejek dan aku lalu memandang garang ke Putri agar berhenti mengejek. Putri kini diam tapi kemudian berusaha membela diri. “Kakakan udah punya tiga. Trus mau diambil satu lagi. Nah, kalau diambil satu, Kaka punya empat, dong. Trus Ade Puput cuman dua. Nggak mau, Tante.”
Kulepas Rahmat dari dekapanku dan dia masih menangis terus. Masih dengan air mata yang tumpah. Aku pusing bagaimana menenangkan makhluk cilik ini. Mana orangtuanya tidak ada lagi. Entah keluyuran kemana menggunakan kendaraanku.
“Put, kamu pinjamin aja Kaka. Atau kamu main mobil-mobilan aja.”
“Nggak ah. Aku sekarang lagi pengen main boneka, Tante. Ya Lami, Ya Patrick, Ya Linda. Kita main, yah,” ujarnya sambil mengajak ketiga boneka itu bicara. Dalam hati aku juga tertawa melihat tingkah Putri yang lucu karena mengajak tiga boneka di genggamannya bicara.
Aku terus membujuk si bungsu untuk menyerahkan satu boneka. Tiba-tiba TimeZone melintas di kepalaku. Ya.Ya. Sebuah resep yang menurutku paling jitu untuk membuatnya mengalah karena TimeZone adalah tempat paling dia sukai.
“Put, kasi Kaka satu, ya sayang. Nanti Tante beliin kamu. Trus kita main ke TimeZone,”rayuku.
Putri seperti terhipnotis dan mulai berangsur mengalah mendengar aku menyebut Timezone. Dan kini melompat-lompat girang. Lalu berujar, “Benar, yah. Awas lo kalau Tante boong lagi. Katanya mau ajak, tapi ternyata kamu nggak ajak. Alasannya kamu sibuk.”
Aku mengangguk sambil mengajungkan jari telunjuk dan tengah sehingga membentuk huruf V. “Iya. Janji.”
“Awas kalau nggak. Aku mainin laptopnya sampai rusak!!”
“Iya. Sayang.”
Dia lalu memberikan tiga boneka itu sekaligus pada kakaknya. “Nih, Kak. ambil aja. Aku diajak Tante main di Timezone.”
Rahmat kini diam. Sementara Putri menuju ke lantai bawah. Sambil berteriak-teriak, “Om Rusdi-Om Rusdi-Om Rusdikuuuuu. Kamu dimanaaaa? Aku diajak Tante ke TimeZone.” Aku geleng kepala melihat tingkah bocah centil dengan rambut dikepang dua itu.


* * *

AKU masuk kamar. Sejak kecil, keponakanku yang sulung ini memang tidak pernah lepas dari yang namanya boneka. Setiap tidur, harus ada boneka di pelukkannya. Kalau tidak ada boneka, dia tidak akan bisa tidur. Awalnya, orangtuanya yang menerapkan itu. Memberi Rahmat sebuah boneka di genggamannya sejak dia masih bayi.
Aku jadi teringat May, mungkin Tanteku dan ibuku juga menerapkan hal yang sama pada anak-anaknya dulu. Itu sebabnya, May tidak akan bisa tidur tanpa salib dan aku sangat susah lepas dari namanya tasbih berupa gelang di tangan dan Al Qur’an. Itu karena orangtua kami sejak kecil mendekatkan benda-benda itu hingga membuat kami menjadi sangat tergantung.
Kembali pikiranku melayang ke keponakanku. Jika Rahmat disuruh memilih boneka atau mobil-mobilan, dia akan memilih boneka. Sejak kecil, kakakku sengaja memperkenalkan mainan lembut-lembut pada anak lelakinya seperti boneka dan pada anaknya yang perempuan diperkenalkan mainan seperti mobil-mobilan dan pesawat-pesawat.
Dia sengaja melakukan hal ini untuk membuktikan jika gender itu bukan kodrat dan bisa dibentuk. Alhasil anaknya jadi sampel kelinci percobaan.
Sehingga apa yang terjadi, ketika anaknya sudah besar, yang laki-laki menjadi tergantung pada boneka daripada mainan mobil-mobilan, tapi memiliki perasaan peka, halus, perhatian pada kawan-kawannya dan yang perempuan sedikit tomboy, tidak cengeng, dan menjadikan mainan mobil-mobilan sebagai mainan kebesarannya, meski masih sering juga main boneka.
Hingga kemudian kakakku pernah mengatakan, “Sebenarnya dari dulu aku memang percaya jika manusia tidak terlahir menjadi laki-laki atau perempuan tetapi dijadikan laki-laki atau perempuan. Menjadi laki-laki atau menjadi perempuan itu merupakan proses pembelajaran atau sosialisasi. Aku telah membuktikan pada anak-anakku.”
Ya. Menjadi perempuan atau laki-laki bukanlah kodrat, bukan pembawaan sejak lahir. Bukan pula wahyu Ilahiah. Melainkan terbentuk secara diskursif. Yaitu terbentuk dalam dan melalui praktek tanda bahasa…

December 05, 2007

वक्तु इतु...

Pagi berselimut kabut, disertai gerimis, mengiringi langkahku ke sudut Kota Butta Salewangan. Menemuimu membahas Amarah. Ketika kursi berjejer dan meja menjadi saksi bisu. Ada suguhan teh panas yang cepat mendingin oleh hawa, sedingin hatiku ketika menatap parasmu wahai adam.