DI Malam Tahun Baru. Menyambut Tahun 2008.
PUKUL dua belas tepat. Ketika Makassar diguyur pesta kembang api dari langit. Tapi aku memilih berada di dalam istana ini. Masjid Al Markas Al Islami Makassar. Sebuah kediaman megah merupakan rumah Allah. Menengadahkan tanganku untuk sebuah doa dan harapan serta berucap syukur atas nafas serta roh kehidupan masih kumiliki. Perayaan tanpa terompet, tanpa kembang api, juga tanpa teriakan histeris, dan hentakan musik kadang memecah gendang telinga.
Di sini tidak ada tawa dan nyanyian. Hanya ada bait-bait Allah kulafazkan dari mulutku. Melaksanakan shalat dua rakaat sebagai sujud syukur karena masih diberi kesempatan menyambut tahun 2008.
Semenjak dua tahun silam, dipergantian tahun, kuputuskan memilih menyepi ke masjid ini. Menarik diri dari keramaian yang menurutku bukan zamannya lagi. Duduk tafakur jauh lebih berharga dibandingkan luapan kegembiraan disertai emosi tidak terkontrol dalam menghabiskan malam pergantian tahun.
Malam pergantian tahun dari 2007 ke 2008, hanya sedikit orang sepertiku yang datang merayakan pergantian tahun ke tempat ini. Di shaf perempuan, hanya ada 30 orang saja. Sementara di shaf laki-laki malah lebih sedikit ketimbang jumlah perempuan.
Aku ke rumah suci ini tidak sendiri tapi bersama kakak perempuanku Risma Ridjang Sikati dan keponakanku Hasanah Amirullah Sikati.
Kakak dan keponakanku terlihat khusyu menjalankan shalat dua rakaat. Sementara aku yang sejak beberapa menit lalu sudah lebih dulu melaksanakannya, kini masih berkutat dengan membaca asma Allah.
Dari kaca jendela masjid, aku bisa melihat dengan leluasa pesta kembang api dengan berbagai model di langit berawan bermain-main sambil memancarkan warna warni disertai bunyi pelutut-pelutut.
Malam pergantian tahun ini cuaca masih cukup bersahabat. Sejak pukul tujuh malam sampai dua belas malam, cuaca cerah. Aku masih mengingat dengan jelas di tahun 2007 silam. Malam tahun baru yang dihantam dengan hujan lebat sejak pukul tujuh malam sampai subuh hari.
Di tahun 2008, ada banyak impianku. Terpenting adalah mengenai lauching bukuku berjudul Mencari Jejak Amarah. Sebuah buku sejarah yang mengangkat peristiwa berdarah tewasnya tiga mahasiswa UMI di tanggal 24 April 1996.
Aku lalu memilih membaca puluhan sms yang silih berganti menyerbu ponselku saat kuaktifkan.
Aku membukanya satu-persatu. Ucapan di dalamnya hampir seragam. Seolah-olah janjian. Pada intinya mengucapkan selamat tahun baru 2008.
Ada sebuah ucapan dari Bosku, Uki M Kurdy. Pak Uki adalah pimpinan redaksi Koran Tribun Timur tempatku bekerja.
Isinya :
Selamat Tahun Baru 2008. Akemashite omedetou gozaimasu. Kotoshi ha seikou to siawase ni narimasu youni oinori moushiagemasu, Amin (Uki M Kurdi).
Aku hanya membalasnya: Selamat Tahun Baru Juga BOS!
Kemudian sms itu ku forward ke sejumlah temanku agar mereka pusing bagi yang tidak mengerti artinya.
Aku membaringkan tubuhku di atas sajadah. Memandang langit-langit masjid yang diramaikan dengan lampu hias berukuran raksasa. Indah dan megah sekali masjid ini. Kututup bola mataku dan mencoba merasakan keheningan malam. Aku merasa sangat gemetar mendengar bunyi pelutut-pelutut di angkasa yang seolah-olah seperti bunyi ledakan bom yang datang menghantam dan meluluklantakkan Kota Makassar. Entah mengapa, aku menjadi takut mendengar suara itu. Aku tiba-tiba membayangkan diriku berada di sebuah padang luas kemudian melihat banyaknya orang-orang berteriak-teriak minta pertolongan untuk menghindari hujaman benda pijar dari angkasa.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Bersyukur karena pilihanku di malam tahun baru berada lebih dekat denganMU, Ya Allah.
Tiba-tiba, setelah 20 menit berlalu dari pukul duabelas malam, gerimis kembali turun. Aku memutuskan pulang ketika jalanan mulai sedikit sunyi dari hiruk pikuk kendaraan.
Gerimis masih mengiringi perjalananku sampai di rumah. Dan ketika kuparkir kendaraan persis di depan rumah, tiba-tiba butiran hujan sebesar kelereng jatuh menghantam bumi disertai angin kencang. kubersyukur. Untung saja aku telah tiba di rumah.
Aku turun dari mobil dan melangkah dengan berjinjit untuk menghindari genangan air. Suara angin yang berdesir masih terdengar dan mengatup semua bulir.
Sebelum tidur, aku berkumpul bersama saudara-saudaraku di ruang keluarga. Di rumah, Ibuku tercinta membuat masakan spesial khusus menyambut tahun baru. Makanan spesial yang selalu tersaji setiap pergantian tahun. Seperti Lebaran rasanya. Ada buras dan opor ayam.
Pukul empat lewat lima belas menit. Aku mulai merasakan kepalaku berat dan sudah tidak bisa diajak kompromi. Inilah jam melewati jam ngantukku. Aku bergegas ke tempat tidur untuk segera mengistirahatkan mataku. Tidur.
December 31, 2007
सलामत Tahun बरुस 2008
Diposting oleh APRIL MAKASSAR BERDARAH (AMARAH) 96 di 8:21 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment