December 31, 2007

सलामत Tahun बरुस 2008

DI Malam Tahun Baru. Menyambut Tahun 2008.

PUKUL dua belas tepat. Ketika Makassar diguyur pesta kembang api dari langit. Tapi aku memilih berada di dalam istana ini. Masjid Al Markas Al Islami Makassar. Sebuah kediaman megah merupakan rumah Allah. Menengadahkan tanganku untuk sebuah doa dan harapan serta berucap syukur atas nafas serta roh kehidupan masih kumiliki. Perayaan tanpa terompet, tanpa kembang api, juga tanpa teriakan histeris, dan hentakan musik kadang memecah gendang telinga.
Di sini tidak ada tawa dan nyanyian. Hanya ada bait-bait Allah kulafazkan dari mulutku. Melaksanakan shalat dua rakaat sebagai sujud syukur karena masih diberi kesempatan menyambut tahun 2008.
Semenjak dua tahun silam, dipergantian tahun, kuputuskan memilih menyepi ke masjid ini. Menarik diri dari keramaian yang menurutku bukan zamannya lagi. Duduk tafakur jauh lebih berharga dibandingkan luapan kegembiraan disertai emosi tidak terkontrol dalam menghabiskan malam pergantian tahun.
Malam pergantian tahun dari 2007 ke 2008, hanya sedikit orang sepertiku yang datang merayakan pergantian tahun ke tempat ini. Di shaf perempuan, hanya ada 30 orang saja. Sementara di shaf laki-laki malah lebih sedikit ketimbang jumlah perempuan.
Aku ke rumah suci ini tidak sendiri tapi bersama kakak perempuanku Risma Ridjang Sikati dan keponakanku Hasanah Amirullah Sikati.
Kakak dan keponakanku terlihat khusyu menjalankan shalat dua rakaat. Sementara aku yang sejak beberapa menit lalu sudah lebih dulu melaksanakannya, kini masih berkutat dengan membaca asma Allah.
Dari kaca jendela masjid, aku bisa melihat dengan leluasa pesta kembang api dengan berbagai model di langit berawan bermain-main sambil memancarkan warna warni disertai bunyi pelutut-pelutut.
Malam pergantian tahun ini cuaca masih cukup bersahabat. Sejak pukul tujuh malam sampai dua belas malam, cuaca cerah. Aku masih mengingat dengan jelas di tahun 2007 silam. Malam tahun baru yang dihantam dengan hujan lebat sejak pukul tujuh malam sampai subuh hari.
Di tahun 2008, ada banyak impianku. Terpenting adalah mengenai lauching bukuku berjudul Mencari Jejak Amarah. Sebuah buku sejarah yang mengangkat peristiwa berdarah tewasnya tiga mahasiswa UMI di tanggal 24 April 1996.
Aku lalu memilih membaca puluhan sms yang silih berganti menyerbu ponselku saat kuaktifkan.
Aku membukanya satu-persatu. Ucapan di dalamnya hampir seragam. Seolah-olah janjian. Pada intinya mengucapkan selamat tahun baru 2008.
Ada sebuah ucapan dari Bosku, Uki M Kurdy. Pak Uki adalah pimpinan redaksi Koran Tribun Timur tempatku bekerja.
Isinya :
Selamat Tahun Baru 2008. Akemashite omedetou gozaimasu. Kotoshi ha seikou to siawase ni narimasu youni oinori moushiagemasu, Amin (Uki M Kurdi).



Aku hanya membalasnya: Selamat Tahun Baru Juga BOS!

Kemudian sms itu ku forward ke sejumlah temanku agar mereka pusing bagi yang tidak mengerti artinya.

Aku membaringkan tubuhku di atas sajadah. Memandang langit-langit masjid yang diramaikan dengan lampu hias berukuran raksasa. Indah dan megah sekali masjid ini. Kututup bola mataku dan mencoba merasakan keheningan malam. Aku merasa sangat gemetar mendengar bunyi pelutut-pelutut di angkasa yang seolah-olah seperti bunyi ledakan bom yang datang menghantam dan meluluklantakkan Kota Makassar. Entah mengapa, aku menjadi takut mendengar suara itu. Aku tiba-tiba membayangkan diriku berada di sebuah padang luas kemudian melihat banyaknya orang-orang berteriak-teriak minta pertolongan untuk menghindari hujaman benda pijar dari angkasa.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Bersyukur karena pilihanku di malam tahun baru berada lebih dekat denganMU, Ya Allah.
Tiba-tiba, setelah 20 menit berlalu dari pukul duabelas malam, gerimis kembali turun. Aku memutuskan pulang ketika jalanan mulai sedikit sunyi dari hiruk pikuk kendaraan.
Gerimis masih mengiringi perjalananku sampai di rumah. Dan ketika kuparkir kendaraan persis di depan rumah, tiba-tiba butiran hujan sebesar kelereng jatuh menghantam bumi disertai angin kencang. kubersyukur. Untung saja aku telah tiba di rumah.
Aku turun dari mobil dan melangkah dengan berjinjit untuk menghindari genangan air. Suara angin yang berdesir masih terdengar dan mengatup semua bulir.
Sebelum tidur, aku berkumpul bersama saudara-saudaraku di ruang keluarga. Di rumah, Ibuku tercinta membuat masakan spesial khusus menyambut tahun baru. Makanan spesial yang selalu tersaji setiap pergantian tahun. Seperti Lebaran rasanya. Ada buras dan opor ayam.
Pukul empat lewat lima belas menit. Aku mulai merasakan kepalaku berat dan sudah tidak bisa diajak kompromi. Inilah jam melewati jam ngantukku. Aku bergegas ke tempat tidur untuk segera mengistirahatkan mataku. Tidur.

December 30, 2007

Pramuka Maros Belajar Menulis Berita


December 24, 2007

Mengenang Kepergian Sang Fotografer Cakrawala IDE UPPM UMI

Hatiku bagai teriris sembilu mengenang lelaki bernama lengkap MJ Nasrullah itu. Menjadi terkoyak-koyak ketika benda-benda yang sangat disayanginya diobrak-abrik oleh polisi. Polisi yang menyerbu dan memporak-porandakan Sekretariat kami, Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa (UPPM), pada kasus 1 Mei 2004 silam.
Setelah penyerbuan itu, aku sempat melihat langsung kondisi Sao Kareba UPPM yang ada di Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) bersama seniorku di UPPM UMI, Baldi dan Selle KS Dalle. Mata kami berkaca-kaca, hati kami perih dan teriris-iris. Sekretariat yang kami gelari Sao Kareba UPPM dan begitu kami bangga-banggakan, tempat kami belajar mengenal hidup, tempat kami saling berbagi dalam suka dan duka, dianggap laiknya tempat sampah dan tidak punya nilai. Benda-benda yang menghiasi ruangan tidak lagi memiliki bentuk. Komputer, meja, kursi, berserakan tidak beraturan di lantai.
Dan paling menyakitkan hati kami adalah box yang terbuat dari kaca, tempat menyimpan barang-barang peninggalan almarhum dipecahkan. Kamera yang sudah dianggap istrinya dihancurkan dengan ujung kamera sudah tidak berlensa lagi. Kaca lensa hancur dan menjadi pecahan-pecahan kecil berserakan di lantai bercampur dengan kaca box.
Buku-buku kesayangannya disobek-sobek tidak beraturan. Sampul buku dengan judul Karl Mark terpisah dari halaman pertama, sampul buku Cheu Ghuevara menjadi dua potongan, halaman-halaman buku Kahlil Gibran berserakan di dalam box setelah disobek-sobek.
Air mataku tumpah melihat semua pemandangan memilukan itu. Betapa rendahnya nilai peninggalan orang yang kami cintai dimata mereka. Betapa murahannya sekretariat yang kami anggap suci dan menjadi surga kami.
Aku sedih mengingat semua. Mengingat putra kelahiran Pinrang angkatan 99 di Fakultas Teknologi Industri itu. Ullah yang menjadi korban penikaman atas perkelahian antara salah satu lembaga UKM dan fakultas di Kampus UMI di tahun 2000. Sebuah tikaman mendarat di perut sebelah kirinya ketika mendokumentasikan perkelahian itu dan berujung pada kepergian untuk selama-lamanya.
Entah siapa yang melakukan perbuatan biadab dan naif itu? Kami menjadi orang-orang rapuh, tertunduk lemas mendengar kabar kepergian sang fotografer Cakrawala IDE UPPM. Sakir yang menjadi orang linglung mencari pelaku penikaman, Selle yang menjadi sangat marah dan langsung meminta pihak Rektorat tegas, juga Iffank yang geram dengan aksi mahasiswa yang terlibat perkelahian. Dan aku? Aku yang menjadi seperti orang yang baru saja patah hati ditinggal kekasih. Mana mungkin aku melupakanmu Ullah. Baru sepuluh menit lalu, sebelum ajal menjemputnya, kita bertengkar hebat hanya karena sebuah kalung dengan mainan gigi ikan paus. Ullah yang mengaku jatuh cinta dengan kalungku dan mengemis agar diberikan padanya. Tapi aku menolaknya mentah-mentah. Tapi kemudian akupun mengalah setelah dia memelas padaku dengan alasan kalung itu hanya dipinjamnya.
Kalung yang merupakan pemberian temanku yang memiliki usaha di bidang perhiasan dari bahan dasar hewan bernama Cano. Dan selanjutnya, beberapa menit kemudian aku tersentak kaget mendengar dia telah meninggal. Air mataku tumpah dan membuatku terhempas tidak berdaya. Meninggal dengan sebuah kalung melingkar di lehernya. Kalung yang akhirnya kuniatkan tidak akan kuambil lagi dan ikhlas kuberikan padanya.
Terlalu banyak kenangan bersamanya. Dan aku masih mengingat dengan jelas seminggu sebelum ajal menjemputnya, di depan mataku, di pelataran Gedung DPRD Sulsel, 6 April 2000, dia menjadi korban pemukulan Kasat IPP Poltabes Makassar Andi Patawari kala itu saat aksi buruh. Selanjutnya, dia diseret dan mendekam di tahanan. Aksi buruh yang dilakukannya untuk memperjuangkan nasib petani.
Ullah yang bercita-cita menjadi orang merdeka, dan selalu berteriak lantang,” Aku ingin menjadi petani sosialis!! menjadi fotografer handal!! Dan menjadi demonstran sejati!!” Ullah kamu telah menjadi martil bagi kami.

Untukmu yang pernah berbekas di hatiku dan sama-sama perna teriak, LAWAN!!

Dari MUSDA KNPI SULSEL

18 Desember 2007

Hotel Singgasana Makassar. Tempat digelarnya Musyawarah Daerah KNPI Sulsel. Aku ke sana janjian bertemu dengan sejumlah senior-seniorku dulunya di HMI. Mereka dari sejumlah daerah di Sulsel dan kebetulan menjadi pengurus KNPI di daerah mereka masing-masing dan ke Makassar untuk mengikuti Musda KNPI. Janjian mengupas Amarah.
Ketika memasuki Hotel Singgasana, aku bertemu dengan Syamsul Rizal atau biasa kusapa Kak Ical yang kini tercatat sebagai Ketua ICMI Muda Sulsel dan anggota DPRD Makassar. Sebelumnya dia terlibat pembicaraan serius dengan Ketua KNPI Makassar hingga kemudian menengurku ketika melihatku.
“Inka.”
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. Ilo yang merupakan pengurus ICMI Muda Maros dan pengurus KNPI yang ada di samping Ical lalu mengatakan, “Kak Ical, Inka ini Wakil Sekretaris ICMI Muda Maros.”
Ical menatapku dan berujar, “Inka kah juga diam-diam ji. Tidak pernah bilang apa-apa.”
Aku kembali menebar senyum.Setelah itu, aku pamit untuk beranjak. Di meja paling sudut, kulihat seniorku di HMI, A Buana A Sommeng, duduk di sebuah meja bundar. Disampingnya ada Ilham Syah Azikin yang merupakan salah satu kandidat ikut memeriahkan bursa perebutan kursi nomor satu di KNPI Sulsel. Aku menjabat tangan mereka.
“Hebat sekali fotota Bos! Majuki Cappo,” kataku pada Ilham. Lelaki yang menjabat sebagai Kabag Humas Pemkab Maros itu tertawa.
Cappo ini adalah sebuah istilah yang kental dipergunakan para tim Syahrul Yasin Limpo saat maju bertarung dalam Pilkada Gubernur Sulsel pada November 2007 lalu. Syahrul yang berpasangan dengan Agus Arifin Nu’mang atau biasa disingkat Sayang bertarung melawan Amin Syam yang berpasangan dengan mantan Rektorku dulu di UMI, Prof Dr Mansyur Ramli, dalam paket Asmara. Pasangan lainnya ikut bertarung adalah Asis Kahar Mudzakkar yang berpasangan dengan Mubly Hamdaling dan merupakan Ketua Kahmi Sulsel dengan paket Pejuang. Kahmi adalah kepanjangan dari Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Cappo ini jika diartikan hampir sama dengan hubungan kekerabatan atau persaudaraan. Dan Ilham adalah salah satu pendukung fanatik Syahrul.
“Bagaimanami bukumu?” tanya Ilham.
“Amanji. Janganmi dulu urus bukuku Bos! Gampangmi itu. Urus dan konsentrasi meki dulu supaya menangki di Musda malam ini,” ujarku.
“Mantap. Bantuka padeng cappo.”
Aku tertawa mendengar Ilham mengungkapkan kalimat itu dengan penuh semangat. Jiwa mudanya memang kuat sekali. Tidak lama, ponselnya berdering dan dia terlihat meninggalkan kursinya sambil mendekatkan ponselnya di telinga. Di Musda, Ilham bertarung melawan Risman dan seniorku di Fakultas Ekonomi UMI dan di HMI bernama Nasrullah.
Aku lalu berdiskusi dengan Buana mengenai Amarah. Dia menjelaskan banyak hal mengenai kasus tersebut. Tidak lama, Abd Razak alias Aca' yang menjabat Ketua Badko HMI Sulselra dan Tom yang merupakan anggota KPU Lutim yang dulunya sama-sama diriku tergabung dalam tim investigasi kasus penyerbuan aparat ke wisma HMI duduk bergabung di meja kami.
“Kak Buana, saya juga mau konfirmasi mengenai lemparan gelas yang pernah dilakukan Kak Rini. Benar tidak?”
Buana kaget. Tom dan Cacank juga kaget. “Beraninya itu Rini Kak Buana,” ujar Aca'. Aku memandang ke arah Buana.
“Serius, senior. Kak Rini mengatakan itu sama saya.”
“Kita harus konfirmasi langsung ke Rini sekarang,” tawar Aca'.
“Iya. Coba kontak Rini,” saranku juga. Tapi Aca' urung melakukannya karena Buana mulai bercerita.
“Jadi mengenai, lemparan gelas itu tidak benar. Nah kalau dia lempar saya dengan pot dan ada bunganya mungkin itu benar. Atau dia lempar saya pakai bunga dan ikut potnya, itu juga mungkin benar.”
Kami semua tertawa mendengar lelucon senior kami itu.
“Atau mungkin dia lempar karena cintanya ditolak,” kataku lagi.
Kami semua semakin tertawa terbahak-bahak.
“Jadi ketika dia lempar saya, datang Aca' tangkis dan akhirnya tidak kena,” kata Buana masih dengan nguyonan.
Kami masih terus tertawa terbahak-bahak.
Tapi aku tidak tahu siapa yang patut dipercaya mengenai lemparan gelas itu. Tapi intinya bukan itu yang ingin kuketahui. Tapi mengenai Amarah.
“Kak Buana dukung siapa di Musda KNPI ini?”
“Ilham.”
“Kalau dari posternya, sebenarnya auranya Ilham kuat sekali menjadi Ketua KNPI Sulsel,” kataku sambil menatap secara bergantian dua poster pasangan calon yang dipasang mengapit pintu masuk ke ruang tempat digelarnya Musda KNPI. Tom, Buana, dan Cacank ikut memperhatikan poster tersebut.
Di sebelah kiri ada foto Ilham mengenakan jaket berwarna biru tersenyum dengan mulut terkunci. Baju biru yang dikenakan itu merupakan baju kebesaran organisasi itu. Lalu di sebelah kanan ada foto Nasrullah juga mengenakan baju yang sama sambil mengepalkan tangan kanannya sedikit terangkat ke atas dengan untaian senyuman dan memperlihatkan deretan giginya.
Tom yang duduk di samping kiriku lalu berujar, “Kamu dukung siapa Inka?”
Aku diam sementara dengan pertanyaan itu. Lalu berujar, “Kak Nasrullah itu seniorku di Fakultas Ekonomi UMI dan di HMI. Nah, kalau Kak Ilham itu, adalah bosku di Maros. Jadi saya bingung pilih siapa. Tapi kalau dipikir-pikir, buat apa saya bingung karena saya tidak punya hak suara. Dan saya bersyukur tidak punya hak suara sehingga tidak perlu pusing memilih siapa-siapa,” ujarku.
Tom tertawa meledekku. “Pada dasarnya saya mendukung keduanya. Dan intinya, siapapun yang terpilih, itulah yang terbaik dan itu yang saya pilih.”
“Bahasa apologi,” Cacank ikut-ikutan meledekku. Aku lalu pamit untuk ke kamar salah satu peserta musda di lantai empat belas.

* * *

Beberapa jam kemudian, aku turun bergabung dengan para seniorku. Saatnya perhitungan suara dimulai. Aku duduk sambil memperhatikan raut wajah orang-orang di hadapanku. Mereka memancarkan wajah tegang. Kak Buana misalnya, tertunduk menatap lantai dan wajahnya sangat tegang. Sedangkan aku, sangat santai sekali.
Beberapa kali, nama Ilham disebut.
“Ilham.”
“Ilham.”
“Nasrullah.”
“Ilham”
“Ilham-Ilham-Ilham-Ilham Syah Azikin-Ilham-Ilham Syah.”
Dan suara tepuk tangan dari dalam forum menggema. Ilham akhirnya yang naik terpilih sebagai Ketua KNPI Sulsel dengan perolehan suara 49 suara, disusul Nasrullah 11 suara, dan Risman hanya empat suara.
Tidak lama, Nasrullah lewat di meja kami. Kami semua berdiri dan memberinya selamat meskipun dia kalah. Setelah itu, dia berlalu. Di ujung sana, kulihat Ilham tidak henti-hentinya menjabat tangan beberapa orang yang ditemuinya.
“Jadi apa bargainingnya KNPI Maros ini?” tanyaku pada ketua KNPI Maros Awal yang kemejaku bersama Boby dan beberapa orang lainnya.
“Itu yang saya pusing juga. Inka ayo makan Mi Titi,” ajak Awal dan aku langsung berdiri dari kursi menyambut dengan antusias ketika dia menyebutkan makanan itu.
“Ayomi padeng Kak Awal. Perutku langsung lapar dengar Mi Titi,” kataku.
“Oke Pak Sopir. Ambil mobil!!” Perintah Awal pada seorang lelaki yang berdiri tidak jauh dari tempatnya dan membuat kami tertawa. Soalnya, stylenya terlihat lucu mengeluarkan perintah itu.
Akhirnya, kami pun bersama sekitar sepuluh orang menuju ke rumah makan andalan kami. Makan Mi Titi. Dalam rombongan itu, semua berasal dari pengurus KNPI Maros kecuali aku.
Pulang makan Mi Titi, ketika memasuki hotel, aku berpapasan dengan seseorang yang sangat akrab di pintu masuk.
“Kayaknya saya kenal sama kamu?” katanya dengan kalimat awal ketika menyapaku. Aku tersenyum dan pura-pura bego.
“Iya. Kayaknya saya juga kenal. Tapi kira-kira kita pernah ketemu di mana, yah?”
Lelaki yang tercatat sebagai pengurus KNPI dan anggota KPU Bulukumba itu lalu mengepalkan tangannya dan mengarahkan tinju ke jidatku dengan sangat pelan.
“Kamu benar-benar.”
Aku tertawa pelan. Alo yang dulunya mantan Ketua HMI Cabang Makassar yang ada di samping Uni ikut tertawa.
“Kak Uni. Kapan dari Bulukumba?” tanyaku dengan mimik serius pada lelaki yang bernama lengkap Syahruni Haris itu.
“Kemarin, Dek. Jadi bukumu terbit tahun depan?”
“Insya Allah, Kak.”
“Ayo pergi makan?” ajaknya.
“Adu, Kak. Saya baru saja selesai makan.”
“Kak Uni, saya mau tanya mengenai pembawa materi ideopolistrata saat LK II HMI itu. Siapa sebenarnya yang bawa materi?”
“Kalau tidak salah ada namanya Alwi.”
“Bukannya Pak Rahmat?”
“Bukan. Kayaknya Alwi. Tapi saya juga lupa ingat.”
“Lalu Kak Buana? Katanya dia yang bawa materi itu. Barusan saya ketemu dengan Kak Buana dan dia bilang yang bawa dia. Trus Kak Ayyub dan Kak Hamka bilang bukan Kak Buana tapi Pak Rahmat. Trus kamu bilang Pak Alwi. Trus yang benar mana?”
Uni terdiam. Seperti berusaha berpikir.
“Saya heran sama kalian ini para saksi sejarah tidak conect komentarnya satu dengan yang lain,” kataku.
Dia menatapku dan tertawa. “Saya punya nama-nama yang membawa materi LK II itu. Saya menyimpannya di sebuah agenda. Nanti saya beritahu siapa yang bawa materi itu,” katanya. Aku mengangguk dan pamit dari hadapannya masuk ke dalam hotel dan menuju ke lantai empat belas. Menuju ke kamar salah satu panitia musda. Aku sudah sangat ngantuk. Sampai di kamar, semua makhluk tidur dengan posisi tidak beraturan dan tertumpuk-tumpuk di lantai. Rasanya, Aku tidak bisa tidur dengan cara seperti ini dan akhirnya aku memilih pulang.

Catatan kecil bersama keponakanku (2)


BEBERAPA jam kemudian. Aku duduk di ruang tamu. Di luar, adik paling bungsuku, Rusdi, memperbaiki mobil kakak pertamaku, Udin, yang barusan ditabrak pete-pete dari belakang. Kulihat Putri ikut disampingnya memperhatikan Om kesayangannya itu sambil duduk berjongkok.
Sesekali Putri diperintah untuk mengambil alat-alat bengkel yang ada di dalam box dan dengan lincahnya, dia menemukan benda itu setelah mendapat gambaran model benda tersebut dari adikku.
“Put, ambilin lagi Om benda yang panjang, ujungnya bundar ada tulisan limanya.” Ketika perintah itu usai terdengar, Putri dengan lincahnya mengobrak abrik box dan selanjutnya, “Nih, Om.”
Adikku lalu tersenyum sambil memujinya, “Ade Puput pintar.” Yang dipuji tampak kegirangan.
Sementara itu, kulihat Rahmat tertidur dengan pulas di karpet yang ada di depan televisi sambil mendekap Linda. Mungkin dia kecapean menangis.
“Barusan Rahmat lucu sekali. Masa boneka dibilang anaknya. Trus dia bilang lagi, aku tidak bisa hidup tanpa anakku,” kataku sambil tertawa ketika melihat istri kakakku baru saja datang dengan kantong belanjaan bertulis Matahari.
Perempuan yang pernah menjadi anggota legislatif dari Golkar di Sanggata itu lalu berujar,”Iya. Itu nah kalau di rumah, sebelum Kaka pergi sekolah, pasti pamit sama bonekanya.”
“Masa, sih?”
“Iya, dia ngomong, kamu tidur, yah, Nak. Aku sekolah dulu. Pulang sekolah juga gitu. Dia tanya ma bonekanya, kamu udah makan, blom, Nak? Kalau belum, aku akan ambilin kamu makanan anakku sayang,” katanya sambil tertawa.
Aku ikut tertawa mendengar perkataan iparku itu.
“Itu anak benar-benar,” kataku sambil geleng-geleng dan masih dengan tawa yang kubiarkan terhempas keluar. Aku tidak bisa menahannya. Dan seperti biasa, tiap aku tertawa perutku ikut sakit. Aku menuju menuju ke kamar masih dengan tawa lebar bahkan sangat lebar. Lucu sekali itu anak.

* * *

SEPERTI janjiku, malamnya, aku mengajak kedua keponakanku ke TimeZone yang ada di Panakukang bermain. Mereka asyik bermain bola basket. Seperti biasa, Putri lebih gesit memasukkan bola ke dalam keranjang daripada kakaknya.
Pukul 19.30 Wita. Sebuah sms masuk ke ponselku.

“Ka, anak-anak ngumpul di KopiZone. Ke sini.”

Pesan singkat dari Ida itu lalu kubalas. “Saya lagi di Diamond. Iya nanti.”
Letak Diamond dan KopiZone masih satu kompleks. Aku melihat kedua keponakannku berlomba memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Sudah berantem kini akur lagi. Mereka memang seperti itu. Berantem kemudian Akur, Berantem lagi lalu akur lagi, dan begitu seterusnya. Seandainya para politisi-politisi kita seperti itu.
Aku sebenarnya ingin bergabung dengan kawan-kawanku. Tapi keponakanku? Kemudian aku kepikiran untuk menitip keponakanku di sebuah permainan rumah-rumahan. Aku lalu mengajak dua bocah itu bermain di lantai dasar Ramayana saja. Di situ ada permainan rumah-rumah tingkat empat yang dikelilingi sebuah besi. Didalamnya, ada balon-balon, luncuran, bola-bola, dan ayunan.
Permainan itu kubayar limapuluh ribu untuk mereka berdua. Tempat itu kuanggap aman untuk mereka bermain. Orangtuanya tiap kali belanja juga selalu melakukan hal sama. Meninggalkan anaknya bermain di mal dan mereka sibuk bebelanja keliling mal. Tapi aku masih ragu meninggalkannya. Kini aku duduk di sebuah kursi sambil memperhatikan keduanya saling dorong-dorongan di mainan luncuran. Hatiku masih saling tanya jawab. Pergi-tidak. Pergi-tidak. Aku belum membuat keputusan.
Rahmat dari jauh menatapku dan kemudian menuju ke arahku. “Tante kalau kamu mau pergi, pergi aja. Biar Kaka dan Ade Puput dititip di sini aja main sepuasnya,” ujar Rahmat yang membuatku kaget.
Kebetulan sekali. Rupanya bocah kecil yang sejak umur tiga tahun sudah mengenal komputer, sedikit pandai Bahasa Inggris, paling suka main game apalagi game catur ini, membaca pikiranku. Setelah mengungkapkan itu, dia lalu berlari masuk ke dalam bangunan rumah-rumahan.
Aku lalu berteriak memanggilnya diiringi dengan isyarat tangan, “Kaka. Sini dulu kamu.”
Dia tergopoh-gopoh kembali ke arahku. “Nggak apa-apa aku tinggalin kamu di sini main?”
Dia mengangguk.
Aku lalu berpesan padanya untuk tidak nakal dan menjaga adiknya.
“Jaga Ade Puput. Jangan nakal. Tante mau ke tempat teman. Nanti Tante balik jemput. Jam sepuluh tepat,” kataku sambil menyerahkan dua minuman Susu Indomilk botol dan disambut dengan anggukannya.
“Ingat, kalau ada yang ngajak pergi jangan ikut, yah,”pesanku lagi dan meninggalkan satu ponselku untuknya untuk dipakai jika ingin menghubungiku. Aku juga titip pesan sama penjaga mainan untuk menjaganya.
“Mbak tolong kodong dua anakku itu dijaga.”
Si penjaga mengangguk tapi sedikit kaget, “Oh itu anaknya, yah?”
Aku mengangguk. Penjaga itu mungkin tidak percaya dengan perkataanku barusan. Karena wajahku dan wajah keponakanku itu memang tidak mirip. Kedua wajah keponakanku lebih didominasi wajah ibunya ketimbang kakakku yang wajahnya sedikit mirip dengan diriku. Tapi aku tidak mau pusing. Dari jauh dua keponakanku bermain bersama dan tertawa-tawa riang. Mereka begitu menikmati indahnya masa kecil.


* * *

AKU lalu menuju ke KopiZone. Di sana, pengurus HMI dari Komisariat Ekonomi sudah berkumpul.
“Kak Iffank dalam perjalanan ke sini,” ujar Ida ketika aku duduk.
“Oh, yah!!” Kak Iffank adalah seniorku di Ekonomi dan pernah aktif ber HMI. Lelaki bernama lengkap Nirfan Arhat itu sekarang lebih banyak beraktifitas di Jakarta. Tidak lama orang yang kutunggu datang. Dia kaget melihatku dan aku juga kaget melihat perubahannya. Sedikit gemuk. Entah mengapa, kawan-kawan lama yang kutemui badanya semakin melebar. Mungkin mereka telah sukses menaklukkan dunia.
Aku berdiskusi dengan Iffank. Setelah Iffank pamit, aku membuka laptop dan melihat portal http;//www.tribun-timur.com.
“Inka, Kak Olleng,” Ida berujar.
Aku mengangkat kepala dan mencari nama yang barusan disebut Ida. Dan ketika kutangkap bayangnya aku memanggilnya. “Kak Olleng.” panggilku saat melihatnya melintas di hadapanku. Dia menghampiriku dan aku mengulurkan tangan menjabat tangannya.
“Kapanki datang dari Jakarta?” tanyaku pada lelaki yang bernama lengkap Syamsuddin Rajab dan kini menjadi Ketua Umum PBHI Pusat.
“Sudah beberapa hari, Dek. Rumahku yang di Manuruki baru saja terbakar. Bukuku semua habis terbakar,” ujar lelaki bertubuh subur itu dan membuatku kaget.
“Astaga!!!”
“Jadi buku yang saya janji juga ikut terbakar,” katanya dan kubalas dengan kata tidak apa-apa.
“Kak, saya mau Kak Olleng berkomentar di bukuku. Soalnya nilai jualnya sekarang Kak Olleng tinggi,” kataku sambil bergurau dan membuatnya tertawa.
“Ah! Kamu itu!!”
“Seriuska, Kak.”
“Oke kalau gitu. Nanti kukirim melalui e-mailmu,” katanya dan memperlihatkan telapak tanggannya di udara dan berujar lagi, “Ces dulu padeng.”
“Oke,” sambungku sambil meng-tos telapak tangannya. Dia kini berlalu. Pukul sepuluh, aku lalu pamit sama teman-teman dan menjemput dua bocah yang tadi kutitip di lantai dasar Ramayana bermain. Aku penasaran sama mereka berdua. Apakah berantem lagi?

Catatan kecil bersama keponakanku (1)








Suara ribut-ribut di luar kamar membuatku buyar dari konsentrasi menggarap buku Amarah Jilid Dua. Aku keluar kamar dan kulihat dua bocah saling umpat mengumpat. Aku berusaha melerai dua keponakanku yang sedang bertikai. Dua bocah yang bertikai itu namanya Putri Ansari Ridwan Sikati (6) dan Rahmat Ridwan Sikati (7). Putri biasa dipanggil Ade Puput dan Rahmat dipanggil Kaka. Kedua bocah itu adalah kakak beradik dan merupakan anak kakak ketigaku, Ridwan atau dipanggil Iwan, yang tinggal dan menetap di Kalimantan. Keduanya datang ke Makassar dibawa orangtuanya untuk liburan di Makassar. Ayahnya mengambil cuti selama sebulan dari tempatnya bekerja di perusahaan tambang Sanggata, Kalimantan Timur, bernama Kaltim Prima Coal (KPC).
“Ada apa Kaka menangis, Put? tanyaku dengan bahasa sedikit logat pada Putri yang berdiri menatap kakaknya yang menangis. Bahasa logat yang sering kugunakan setiap ngobrol dengan dua bocah centil itu.
Aku lalu menenangkan si sulung yang kini tengah menangis dengan posisi badan sandar di tembok sambil duduk.
“Ka diam, Ka. Kok nangis terus, sih…..”
“A-de Pu-put ja-hat,” ujarnya dengan terbata-bata.
“Iya kenapa?”
“Jahat. Ade Puput Jahat-Ade Puput Jahat.” Rahmat mengeluarkan kalimat itu berulang-ulang diiringi isak tangis dan nafas ngos-ngosan sambil dua kakinya digosok silih berganti di lantai.
“Aku nggak bisa hidup tanpa anakku, Tante.” Tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutnya. Dan tentunya membuatku tercengang, tersentak, dan juga cukup kaget. Khususnya pada kalimat, aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Apa maksudnya dia mengungkapkan itu?
“Aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Anakkuuu, Tante….” Kalimat itu dia ulangi lagi dan aku benar-benar penasaran dan mencoba mencari tahu apa maksud perkataannya barusan.
Aku menatap Putri tajam. “Ka-ka mau ngambil i-ni-ni. Puput nggak mau, Tante,” ujar Putri dengan polos disertai gerakan kepala silih berganti ke kanan dan kekiri sambil menunjuk sebuah benda yang ada di tangannya dengan bantuan matanya.
Aku memperhatikan benda yang kini dipeluk Putri dengan erat. Aku kemudian mengerti yang dimaksud anaknya mungkin benda itu. Ketika menyadari yang dimaksud keponakanku itu anaknya adalah benda itu, aku langsung tertawa lepas dan kini menjadi tawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak, boneka dibilangin anaknya.
Dan tawaku membuat si sulung semakin menangis sejadi-jadinya. Mungkin dia merasa tawaku meledeknya. Aku merasa berdosa membuatnya semakin sedih dan mencoba membujuknya untuk diam.
“Ka diam Ka. Nanti Tante beliiin kamu boneka lagi, yah,” rayuku masih dengan berusaha menekan tawa.
“Nggak mauuuuuu. Aku mauuu anakkuuuuu yang di Ade Puput. Aku mau Lindaku. Aku nggak bisa hidup tanpa anakku. Oh Lindaku,” katanya kemudian dengan tangis sejadi-jadinya semakin keras. Dan aku menahan tawa sambil menutup mulut dengan tanganku. Perutmu mulai merintih karena kesakitan menahan tawa.
Tiga boneka yang ada di tangan Putri itu salah satunya diberi nama Linda. Lainnya ada bernama Lami dan Patrick. Cuman aku tidak tahu mana Lami dan mana Patrick. Tapi Linda adalah boneka dengan bentuk seperti kucing, berkumis, dan punya ekor memanjang. Dari cerita kakakku, boneka itu sebenarnya dipajang di belakang mobilnya sebagai aksesoris, tapi Rahmat mencabutnya. Kakakku sendiri dan istrinya sempat bingung kenapa anaknya memberi nama Linda pada boneka itu. Karena nama boneka itu tidak nyambung dengan bentuknya. Tapi dari Putri terungkap jika kakaknya naksir sama anak baru di sekolahnya bernama Linda. Anak salah seorang pejabat di Sanggata. Macam-macam saja.
Putri juga ikut-ikut mengejek kakaknya dengan intonasi berirama, “Jangan ambil anakku-jangan ambil anakku. Sungguh terlalu!! Ini punyaku, Kakak!!” Matanya melotot sinis memandang kakaknya. Rahmat semakin meraung-raung di lantai. Air matanya terus merembes keluar. Kuusap air matanya pakai ibu jariku. Lalu mendekapnya ke dalam pelukanku untuk menenangkannya dan aku masih sekuat tenaga mencoba menetralisir agar segera menghentikan tawaku.
Putri terus mengejek dan aku lalu memandang garang ke Putri agar berhenti mengejek. Putri kini diam tapi kemudian berusaha membela diri. “Kakakan udah punya tiga. Trus mau diambil satu lagi. Nah, kalau diambil satu, Kaka punya empat, dong. Trus Ade Puput cuman dua. Nggak mau, Tante.”
Kulepas Rahmat dari dekapanku dan dia masih menangis terus. Masih dengan air mata yang tumpah. Aku pusing bagaimana menenangkan makhluk cilik ini. Mana orangtuanya tidak ada lagi. Entah keluyuran kemana menggunakan kendaraanku.
“Put, kamu pinjamin aja Kaka. Atau kamu main mobil-mobilan aja.”
“Nggak ah. Aku sekarang lagi pengen main boneka, Tante. Ya Lami, Ya Patrick, Ya Linda. Kita main, yah,” ujarnya sambil mengajak ketiga boneka itu bicara. Dalam hati aku juga tertawa melihat tingkah Putri yang lucu karena mengajak tiga boneka di genggamannya bicara.
Aku terus membujuk si bungsu untuk menyerahkan satu boneka. Tiba-tiba TimeZone melintas di kepalaku. Ya.Ya. Sebuah resep yang menurutku paling jitu untuk membuatnya mengalah karena TimeZone adalah tempat paling dia sukai.
“Put, kasi Kaka satu, ya sayang. Nanti Tante beliin kamu. Trus kita main ke TimeZone,”rayuku.
Putri seperti terhipnotis dan mulai berangsur mengalah mendengar aku menyebut Timezone. Dan kini melompat-lompat girang. Lalu berujar, “Benar, yah. Awas lo kalau Tante boong lagi. Katanya mau ajak, tapi ternyata kamu nggak ajak. Alasannya kamu sibuk.”
Aku mengangguk sambil mengajungkan jari telunjuk dan tengah sehingga membentuk huruf V. “Iya. Janji.”
“Awas kalau nggak. Aku mainin laptopnya sampai rusak!!”
“Iya. Sayang.”
Dia lalu memberikan tiga boneka itu sekaligus pada kakaknya. “Nih, Kak. ambil aja. Aku diajak Tante main di Timezone.”
Rahmat kini diam. Sementara Putri menuju ke lantai bawah. Sambil berteriak-teriak, “Om Rusdi-Om Rusdi-Om Rusdikuuuuu. Kamu dimanaaaa? Aku diajak Tante ke TimeZone.” Aku geleng kepala melihat tingkah bocah centil dengan rambut dikepang dua itu.


* * *

AKU masuk kamar. Sejak kecil, keponakanku yang sulung ini memang tidak pernah lepas dari yang namanya boneka. Setiap tidur, harus ada boneka di pelukkannya. Kalau tidak ada boneka, dia tidak akan bisa tidur. Awalnya, orangtuanya yang menerapkan itu. Memberi Rahmat sebuah boneka di genggamannya sejak dia masih bayi.
Aku jadi teringat May, mungkin Tanteku dan ibuku juga menerapkan hal yang sama pada anak-anaknya dulu. Itu sebabnya, May tidak akan bisa tidur tanpa salib dan aku sangat susah lepas dari namanya tasbih berupa gelang di tangan dan Al Qur’an. Itu karena orangtua kami sejak kecil mendekatkan benda-benda itu hingga membuat kami menjadi sangat tergantung.
Kembali pikiranku melayang ke keponakanku. Jika Rahmat disuruh memilih boneka atau mobil-mobilan, dia akan memilih boneka. Sejak kecil, kakakku sengaja memperkenalkan mainan lembut-lembut pada anak lelakinya seperti boneka dan pada anaknya yang perempuan diperkenalkan mainan seperti mobil-mobilan dan pesawat-pesawat.
Dia sengaja melakukan hal ini untuk membuktikan jika gender itu bukan kodrat dan bisa dibentuk. Alhasil anaknya jadi sampel kelinci percobaan.
Sehingga apa yang terjadi, ketika anaknya sudah besar, yang laki-laki menjadi tergantung pada boneka daripada mainan mobil-mobilan, tapi memiliki perasaan peka, halus, perhatian pada kawan-kawannya dan yang perempuan sedikit tomboy, tidak cengeng, dan menjadikan mainan mobil-mobilan sebagai mainan kebesarannya, meski masih sering juga main boneka.
Hingga kemudian kakakku pernah mengatakan, “Sebenarnya dari dulu aku memang percaya jika manusia tidak terlahir menjadi laki-laki atau perempuan tetapi dijadikan laki-laki atau perempuan. Menjadi laki-laki atau menjadi perempuan itu merupakan proses pembelajaran atau sosialisasi. Aku telah membuktikan pada anak-anakku.”
Ya. Menjadi perempuan atau laki-laki bukanlah kodrat, bukan pembawaan sejak lahir. Bukan pula wahyu Ilahiah. Melainkan terbentuk secara diskursif. Yaitu terbentuk dalam dan melalui praktek tanda bahasa…

December 05, 2007

वक्तु इतु...

Pagi berselimut kabut, disertai gerimis, mengiringi langkahku ke sudut Kota Butta Salewangan. Menemuimu membahas Amarah. Ketika kursi berjejer dan meja menjadi saksi bisu. Ada suguhan teh panas yang cepat mendingin oleh hawa, sedingin hatiku ketika menatap parasmu wahai adam.

November 26, 2007

koran bicara


September 17, 2007

With KEPONAKANKU SAYANG

August 14, 2007

Kemana Gerakan Mahasiswa UMI Kini ?

Kemanaka gerakan mahasiswa UMI sekarang? Itu juga yang menjadi pertanyaanku. Padahal di zaman Orde Baru, mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) termasuk cukup vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.
Era tahun 90 an, aksi dan gerakan pertama selalu bermula di kampus ‘hijau’ ini baru disusul di kampus-kampus lain. Tidak heran jika aksi dari mahasiswa UMI selalu menjadi sasaran terberat harus dihadapi aparat dibandingkan dengan universitas lain. Mahasiswa UMI selalu dituduh sebagai provokator karena basis massanya cukup besar.
Kritisnya mahasiswa UMI dalam setiap kebijakan ditetapkan pemerintah tidak terlepas dari personaliti mahasiswanya yang telah dibekali pencerahan qalbu (iman dan taqwa) dan pencerahan akal (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Tidak hanya itu, ruang birokrasi mendukung dan turut andil dalam membesarkan gerakan mahasiwa UMI. Mahasiswa yang aksi di jalan tidak pernah dikungkung. Ruang berekspresi itu begitu bebas terbuka. Mahasiswa tidak akan di DO hanya karena mereka turun aksi atau lama menyelesaikan kuliah hanya karena lebih konsentrasi memikirkan gerakan daripada kuliah. Toh UMI adalah universitas swasta bukan negeri.
Selain itu, organisasi yang terbuka lebar membuat mereka menjadi mahasiswa ‘kaya’ dengan berbagai ilmu. Organisasi besar yang ada di UMI itu seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Selain tumbuh subur organisasi gerakan mahasiswa juga banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di dalam kampus. Mulai dari Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa (UPPM) yang bergerakan dibidang gerakan dan koran mahasiswa, Mapala, penyiaran radio komunitas Maestro Gate, UKM Seni, dan masih banyak lagi.
Dukungan dari organisasi mahasiswa dan UKM inilah kemudian membuka mata mereka melihat kenyataan. Bahwa diperlukannya sebuah perlawanan ketika bentuk penindasan dilakukan pihak tertentu.
Banyak kasus yang digencarkan gerakan mahasiswa UMI sehingga menjadi kasus besar dan dicatat dalam sejarah. Tarulah kasus helm yang terjadi di tahun 1985 lalu disusul kasus April Makassar Berdarah (Amarah) yang terjadi di tahun 1996, lalu di tahun 1998 yang akhirnya membuat Suharto harus lengser setelah berkuasa 32 tahun.
Lalu pada September 2000, mahasiswa UMI beraksi menolak masuknya beras impor ke Sulawesi Selatan. Dua mahasiswa UMI disel, yaitu Surya dan almarhum Nasrullah. Keduanya berasal dari pergerakan bernama FOSIS UPPM UMI. Bentrokan bermula di gedung DPRD Sulsel dan merembet ke depan kampus UMI di Jalan Urip Sumoharjo.
Selanjutnya pada Juni 2001, mahasiswa menuntut penghapusan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Mahasiswa UMI unjuk rasa di DPRD. Mahasiswa sempat diburu anjing milik aparat dan disiram gas air mata.
Pada 18 Februari 2004, mahasiswa bentrok dengan aparat karena memprotes Mahkamah Agung yang memvonis bebas Akbar Tandjung. Mahasiswa ngotot menutup jalan, sementara aparat perintis berkeras membuka jalur jalan. Aparat sempat menerobos ke dalam kampus. Tiga mahasiswa ditangkap dan sebuah sepeda motor milik mahasiswa rusak.
Terakhir pada kasus 1 Mei 2004. Pada kasus ini, mahasiswa seperti mengukir kembali bentrokan dengan aparat seperti yang terjadi di tahun 1996.
Namun, pasca kasus 1 Mei 2004, menjadi sebuah pelajaran cukup berarti bagi birokrat UMI. Pembenahan institut bagi kampus berlebel islami mulai dilakukan dengan pencerahan qalbu bagi mahasiswanya. Mahasiswa baru (Maba) tidak lagi diopspek oleh para senior. Opspek ini dinyatakan, sebagai proses penanaman ide dari senior ke junior untuk berontak makanya perlu dihilangkan dan diganti dengan pesantren kilat di Padang Lampe.
Tidak heran, jika pergerakan mahasiswa UMI mengalami degradasi. Adanya tekanan dari birokrat dan pemberian cap ‘merah’ pada nilai mahasiswa yang turun aksi ternyata berhasil. Maba yang sedari awal tidak mendapat dokrin dari senior menjadi mahasiswa lemah, memfokuskan diri pada kuliah dan tidak mampu membaca gerakan.
Kiblat gerakan yang dulunya di UMI, kini bergeser ke kampus lain seperti Universitas 45, Universitas Negeri Makassar (UNM), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Lihat saja bagaimana aksi yang dulunya bermula dari kampus UMI, kini dimulai di kampus-kampus di luar UMI. Pengikisan gerakan-gerakan ini memang perlu segera dibenahi oleh mahasiswa yang kini masih merasa dirinya mahasiswa.
Mahasiswa yang berhenti berjuang adalah mahasiswa yang telah dimobilisir karena tidak memiliki keterampilan mengorganisir diri dan tidak memiliki kekuatan moral. Dan mungkin seperti itulah yang kini terjadi pada mahasiswa UMI.
Padahal, tugas inti mahasiswa adalah bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi intelektual akademisi, fungsi cadangan masa depan (iron stock), dan fungsi agen perubah (agent of change).
Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Sehingga dengan demikian, mahasiswa senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai serorang mahasiswa sejati.
Di luar dari persoalan itu, kemana gerakan mahasiswa UMI kini. Dimanakah nyalimu?

July 25, 2007

Kukuhkan


Kukuhkanlah anggota tubuhku untuk berbakti kepadaMu,
Teguhkanlah tulang-tulangku untuk melaksanakan niatku,
Kurniakanlah kepadaku kesungguhan untuk bertaqwa kepadaMu,
Dan kebiasaan untuk meneruskan bakti kepadaMu,
Sehingga aku bergegas menujuMu bersama para pendahulu,
Dan berlari ke arahMu bersama orang-orang yang terkemuka,
merindukan dekat padaMu bersama golongan yang merindukanMu,
Jadikan daku dekat padaMu,
seperti mana dekatnya orang-orang yang ikhlas dan takut kepadaMu,
dan takut sepertimana takut-takutnya orang-orang yang yakin,
Dan berkumpul di hadiratMu bersama kaum Mu'minin,

Politik


kita melihat dengan penuh kecemasan
tentang arti sebuah politik
dia bukan sesuatu yang kotor
dia bukan pula tai kucing

keberpihakan berpolitik adalah hak mereka
hak atas pilihan dari dualitas
Dan itu bagian hak asasi manusia

politik tempatnya bukan di Lumpur yang kotor
bukan di situ tempatnya
politik masih memiliki tempat terhormat
Asal tetap mengedepankan politik moral bukan politik amoral

amarahmu

entah kemana amarahmu pergi
tapi disini ada bekasnya
tapi disini ada jejaknya
ada marah, ada takut, kecewa, sedih, mengutuk, dan memaki.

semua berbaur menjadi satu
dalam kenangan masa silam
hanya tawa, bahagia, dan kegembiraan tak ada kala itu

semua sirna menjadi debu
dalam ingatan masa silam

ada amarah di sini
hanya aku dan amarahmu

July 21, 2007

Sunset



Kucoba halangi waktu
berharap tak menyentuhku
kubenci dia karena panasnya
membakar separuh hatiku

kutengadah menatapnya
kini kuterbalut harap
ketika dia turun perlahan
berakhir di ufuk barat

July 16, 2007

Tanpa Judul


kata cinta tidak untuk disumbar

June 23, 2007

KUKEHILANGAN SATU SOBAT LAGI

MUAK!
Aku muak melihat wajahmu
Terkesan polos tanpa noda tapi munafik
Muka palsu yang dulu pernah kulihat dari dia juga

Kau dan dia sama saja
Munafik dan palsu
Menikamku dari belakang
Dengan lidahmu yang tajam

AKU MUAK!
MUAK dan MUAK

Aku ingin menampar wajahmu
Tapi aku tidak ingin mengotori tanganku
Dengan wajah munafik dan palsumu

Tak ada penyesalan di sini
Tentang dirimu menjadi musuh dalam selimut

KU MUAK
Sekali lagi
KU MUAK
Sekali lagi

Aku kehilangan sobat
Kini menjadi mantan sobat

Butta Salewangang, 23 Juni 2007

June 22, 2007

TERBALUT ASA

>Ujung hati tersapu sudah
Air kini mengalir lagi
Palung hati sempat tersabit
Mata hati terbuka di sini

Masih ada puisi hati
Untuk sebuah cinta beku
Hanya kejujuran terbalut asa
Perih dan bahagia di sini

Hati adalah mata jiwa
Mata adalah jendela hati
Sedekat ini kurasa gemetar
Tapi damai ada di sini

COBA DENGAR MANTAN SAHABATKU

Coba dengar kubernyanyi pilu
Tentang siksa hatiku di tempat Ini
Kurasakan kini angin menghantamku
Semakin keras dan keras

Coba dengar rintihan hatiku
Pasti terdengar galau tak berkesudahan
Tentang teman sejati yang menamparku
Dan menusukku dari belakang

Coba dengar ada jeritku di sini
Bagai terhempas di belukar penuh duri
Ternoda oleh silat lidah sahabat karibku
Hanya untuk sebuah ambisi kekuasaanmu

22 Juni 2007

June 05, 2007

CERPEN : Suatu Saat Pasti Ada Jawabannya

KITA memang manusia pertengahan tidak mampu menentukan apa yang harus diambil, apakah akan ke Utara, Timur, Selatan atau ke Barat. Kita hanya mampu berdiri pada posisi masing-masing sambil mempertahankan argumen kita.
Egois. Betapa egoisnya kita sebagai manusia yang hanyalah hamba sang Khalik. Betapa sombongnya kita untuk saling jujur. Apa yang harus disombongkan? Mengapa manusia begitu angkuh?
Tapi bagaimana dengan realitas yang diciptakan Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan dualitas agar kita bisa memilih. Toh Hidup penuh pilihan. Lalu bagaimana dengan pilihan ini.
Apa yang salah. Mengapa tidak ada satu solusi menyelesaikan masalah yang sederhana ini? Toh ini bukan masalah rumit. Manusia sendirilah yang merumit-rumitkan masalah.
“Ini hanya diskomunikasi saja, kan Win?”
“Kapal itu akan tenggelam Win,” kataku pada waktu itu dengan sepasang mata menatap tajam ke arahmu. Kucoba menggunakan pikiranku membaca ekspresi, bahasa tubuh atas setiap jawaban yang keluar dari bibirmu. Aku tahu begitu banyak pertanyaan yang ada di benakmu.
Tapi bukan kamu yang merasakan seperti itu. Kalaupun itu ditanyakan kepada saya sebenarnya ada beratus-ratus atau beribu-ribu pertanyaan di kepalaku terus berkecamuk tentang apa yang kurasa. Lalu harus bagaimana lagi, kita diam? Biarkan semua? Atau aku yang mengalah? Toh takdir di tangan Tuhan, kalaupun akan menelusuri jalan yang beda akhirnya akan bertemu kembali di satu kosmos. Hanya metodologinya saja yang beda. Toh tujuannya hanya satu dan sama.
Lalu bagaimana dengan kapal yang akan kita bawa sekarang, Win? Aku mengalah atau kamu mengalah. Atau kita membiarkan sama-sama terombang-ambing di lautan lepas. Pasrah merelakan maut menggapai kita hingga larut dan tenggelam di dalamnya ditelan ombak pantai yang naas itu tanpa ada prosesi dan perjuangan melepaskannya.
Aku capek, letih untuk harus membahas semua masalah ini Win. Aku ingin tenang. Malas aku berjuang tanpa ada juntrungannya. Aku kasian dengan kapal yang kita bawa sekarang, kita sering berbeda pendapat.
Ah…… Aku mau pergi saja Win, tapi bagaimana caranya ada tidak prosesi meninggalkan problema tanpa ada penyesalan. Penyesalan itulah biang keladi yang carut marut terus. Aku tak ingin menjamah, menyentuh apalagi mengalami penyesalan. Ih ……Tentu pahit sekali Win. Bagaimana dengan kamu Win?
Banyak SMS menyapa, memaki serta menjadi tim penilai atas hubungan kita. Berkomentar atas kesalahan atas pilihanku, mengenai sosokmu. Urakan betul mereka menilai kamu, ngapain juga mereka masuk dilingkaran kita. Dasar! Tapi bagaimana lagi? Toh mereka memang penoton setia.
”Siapa suruh jadi public figur,” ungkapan nyelengkit semua makhluk yang notabene manusia itu. Toh saya tetap mengambil sikap konsisten walaupun hujan badai turun.
Puih! Aku muak.Padahal puluhan SMS antrian mengajakku meraih bahterah baru. Tapi aku masih konsisten setia terus disini membiarkan kapal itu berlayar.
“Manusia itu dibekali akal. Kenapa kamu tidak memberdayakan semua itu? Toh kamu cukup cerdas, hanya saja kamu tidak mempergunakan kecerdasamu Rax,” ungkap Kiblat si mata Elang ahli filsafat itu kepadaku.
Aku mencoba merenungi ucapan kiblat yang terus bergerumuh, biasa ucapan orang bijak, wajar saja orang memanggilnya suhu. Ah! Kiblat sahabatku. Masih ada tidak buku kegilaannmu yang kamu tulis dulu. Masih ada tidak hinaan tentang diriku saat kita bertemu di Jogja dan kamu melontarkan ejekan betapa bodohnya aku meningggalkan dunia ketigaku yang telah kujalani bersama Giel.
“Rax kamu adalah perempuan yang susah dipahami,” kata Kiblat lagi saat menyusuri Mallioboro. Giel masih mengagumimu sebagai manusia yang sempurna. Perempuan yang paling diimpikan karena cukup sempurna. Kamu memiliki kemandirian, ketegaran, kecerdasan, yang tidak dimiliki perempuan lain.
Sayang, kamu sombong dan angkuh tidak mampu memaknai harapannya. Padahal satu kata saja, “ Ya”. “Apa susahnya mengatakan kata Ya?” tanya Kiblat.
“Apa yang kamu cari? Hidup toh hanya sekali. Semua telah ada pada Giel. Karir, masa depan. Mengapa kamu mempertahankan Win,” tanya Kiblat penasaran.
“ Yah…. Aku bukan angkuh. Toh aku telah memaafkannya tapi untuk kembali kepadanya ke titik nol aku harus berpikir seribu kali lipat,” ucapku.
” Ih…Aku paling benci perselingkuhan. Toh sekarang aku menjalani sesuatu dengan seseorang bernama Win, “ kataku kepada Kiblat.
”Lalu, apa bukti dia berselingkuh, feelingmu yang bisa merasakan sesuatu dengan kuat, semedimu yang kamu andalkan, atau indra keenammu yang sanggup membaca pikiran orang lain,” tanya Kiblat sambil geleng kepala.
Semua kupergunakan, Kib. Tapi ada satu hal paling kudepankan. ”Apa?” Tanya Kiblat lagi.
“ kebenaran .“ kataku, kulihat Kiblat kaget dengan kataku barusan.
“Apa, tolak ukurmu tentang kebenaran, Rax? “ Aku hanya diam. Malas aku menjawabnya apalagi menjelaskannya. Seandainya kamu tahu Kiblat, aku selalu mempergunakan semuanya. Kebenaran. Karena benar yang kupahami ketika ide sesuai dengan realita. Itulah arti benar.
Seandainya semua paham. Aku tidak sombong, aku juga tidak angkuh. Aku hanya konsisten dengan pilihan. Aku memaafkannya tapi tidak untuk memulai dari nol lagi bersama Giel. Toh dia ada dibelahan dunia lain. Aku telah melupakan Giel. Giel yang telah memporak-porandakan cintaku menjadi berkeping-keping akibat perselingkuhan. Suatu kecerobohan dan menurutkan sebuah tindakan konyol dan tidak akan pernah kulupakan.
Sekarang konsentrasiku pecah bersama Win, Meski Win susah diajak kompromi, banyak perbedaan dan ujung-ujungnya ketidak cocokan. Lalu apa keputusanku? Meninggalkan tanpa sebait kalimat. Tidak! Aku sudah dewasa untuk membahasakan semua. Lalu kapan ? Jika ada waktu ?
“kenapa Rax?” tanya Kiblat mengagetkanku
“Ih… Jenuh dan bosan, aku hanya kasian dengan kapal yang sekarang kami jalankan. Entah mau disetir kemana kapal itu,” kataku dengan nada sedikit datar dan mengandung makna pesimis.
“ Seharusnya ada kompas yang bisa menentukan arahnya,” tawar Kiblat.
“Kalau begitu, biarkan saja kamu mengalah terjun ke laut meninggalkan kapal itu, Rax. Biar saja Win, membawanya pergi sendiri, terserah mau di bawa ke mana,“ tawar Kiblat lagi.
Aku hanya bisa memandangi wajah Kiblat. Entahlah….Saya sendiri juga nggak tahu mesti gimana. kata-kata Kiblat sebenarnya masuk dan menyentuh hatiku. Entah akan aku realisasikan atau tidak.
Mungkin aku akan memikirkan kata-katanya. Toh, Tuhan telah mengatur hubungan emosional setiap manusia. Manusia hanya bisa berjuang tapi tak ada yang mampu melawan takdir. Suatu saat semua pasti terjawab.


1 Oktober 2003

Kata Bijak

Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Kita hanya bisa berharap untuk sebuah doa di hari ini untuk hari esok. Seperti diriku yang tidak pernah mengerti kenapa bisa menjadi seperti sekarang ini. Hanya bisa mengerti mungkin semua itu adalah bagian dari cintaNya pada hamba yang memohon.

Solidaritas Pekerja Pers Makassar Terbentuk


19/12/2005 03:29 WITA

Sebuah organisasi baru yang menghimpun pekerja pers di Makassar bernama Solidaritas Pekerja Pers (Solider) Makassar dideklarasikan di Hotel Delta, Makassar, Minggu (18/12). Forum tersebut tidak hanya menghimpun wartawan saja tapi juga pekerja- pekerja pers lainnya seperti penyiar, fotografer, kameramen, teknisi, dan lay outer, yang bekerja di perusahaan pers.

Koordinator pembentukan Solider Makassar Rasmi Ridjang Sikati mengatakan, salah satu alasan dibentuknya forum ini untuk mengakomodir kepentingan para pekerja pers baik elektronik seperti radio, televis, dan internet, maupun cetak.

Selama ini, katanya, pekerja pers sering mendapat perlakuan tidak layak dari manajemen tempatnya bekerja dan kadang tidak tahu harus ke mana mengadukan nasibnya. "Makanya forum ini hadir untuk memperjuangkan semua hak-hak pekerja pers," kata Inka, sapaan Rasmi.

Pendeklarasian forum ini dihadiri sejumlah pekerja pers dari berbagai media cetak dan elektornik. Solider Makassar hampir sama dengan serikat pekerja yang ada di Indonesia pada umumnya karena memperjuangkan hak-hak kaum pekerja pers. "Rencananya kami menggunakan serikat pekerja tapi itu terlalu ekstrim sehingga dari hasil rembukan dengan teman-teman maka menggunakan kata solider sebagai ungkapan kepedulian," tambahnya.

Sebelum deklarasi, dibentuk tim tujuh. Tim tujuh ini adalah orang-orang dari beberapa media di Makassar dan nasional dan telah mengikuti pelatihan paralegal untuk jurnalis dari media cetak dan elektronik (radio dan televisi) yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, di Hotel Delta.

Serikat Pekerja

Tim tujuh ini diambil dari fasilitator dan peserta pelatihan paralegal yang diadakan AJI. Mereka adalah fasilitator paralegal, Rasmi RS (Tribun Timur) yang ditunjuk sebagai ketua koordinator Solider, Andry M (Mercurius) sebagai sekretaris, dan anggota M Jaenal A (Makassar TV), Lily (Smart FM), Paharuddin Palapa (Fajar), Idris (SCFM), dan Uccank (Antara).

Solider Makassar bukan tandingan AJI karena organisasi tersebut masih di bawah naungan AJI Makassar Divisi Serikat Pekerja. Dalam waktu dekat, akan digodok AD/ART. Sebelum pembentukan forum tersebut diadakan pelatihan paralegal untuk jurnalis dari media cetak dan elektronik (radio dan televisi). Para pekerja pers yang ingin bergabung dalam forum tersebut tinggal menghubungi Solider Makassar dengan alamat AJI Makassar BTN CV Dewi Blok E2.


http://berita.karebosi.com/325_2271/solidaritas_pekerja_pers_makassar_terbentuk.html

May 24, 2007

friendster

http://www.friendster.com/15116455

May 15, 2007

.:: You'll Never Walk Alone ::.

When you walk through a storm
Hold your head up high,
And don't be afraid of the dark.
At the end of a storm,
There's a golden sky,
And the sweet silver song of a lark.

Walk on through the wind, Walk on through the rain,
Though your dreams be tossed and blown...
Walk on, walk on, with hope in your heart,
And you'll never walk alone... You'll never walk alone.

Walk on, walk on, with hope in your heart,
And you'll never walk alone...
You'll never walk alone


From IKOHI

May 05, 2007

Berita tentang Buku Amarahku di Media


Diterbitkan di Koran Fajar 11 April 2005

Buku Refleksi 'Amarah 1996' Terbit
(11 Apr 2005, 39 x , Komentar)

MAKASSAR-- Masih ingat dengan peristiwa April Makassar Berdarah (Amarah) 1996? Bagi mereka yang ingin mencari jawaban tentang misteri itu kini bisa mencari bukunya.Buku yang bercerita tentang tragedi Amarah 1996 yang ditulis, Rasmi Ridjang Sikati telah diterbitkan.
Buku yang rencananya akan didiskusikan bersamaan dengan peringatan "Amarah" 24 April mendatang diterbitkan Ombak Yogyakarta. Ridjang Sikati, penulis buku tersebut merupakan seorang wartawati di Makassar.

Manajer Ombak, M Nursam mengatakan, buku itu merupakan refleksi peristiwa Amarah yang disinyalir telah terjadi pelanggaran HAM berat. Prof Baharuddin Lopa semasa hidupnya pernah mengatakan, memang ada pelanggaran HAM. Menurut Dr Aswanto, kasus Amarah secara yuridis merupakan pelanggaran HAM. Sebab kasus tersebut memenuhi unsur pelanggaran HAM berat (pasal 8 UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM.

Sebagaimana dikatakan penulisnya, buku itu mencoba merefleksikan dan memanifestasi prosesi dari rentetan peristiwa berdarah pada 24 April 1996. Refleksinya dimulai dari latar belakang peristiwa, insiden, korban, pengadilan, dan penahanan terhadap aparat yang terlibat di dalam kasus Amarah.

Buku itu sangat relevan dengan situasi saat ini saat mana seluruh mahasiswa Indonesia turun ke jalan meneriakkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM)--hal yang sama dilakukan pada kasus Amarah sembilan tahun silam. Buku itu juga merupakan catatan dosa politik Orde Baru dan menambah daftar panjang halaman ?buku hitam? Orde Baru yang harus dipertanggungjawabkan. Pada titik inilah, tuntutan keluarga korban agar kasus Amarah untuk diusut kembali menemukan relevansinya.

Sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa pertengahan 90-an, peristiwa Amarah 1996 perlu ditempatkan pada konteks yang luas tentang situasi sosial politik saat peristiwa itu berlangsung. Hal itu dimaksudkan agar kita mampu melihat persoalan Amarah secara komprehensif dan holistik dan juga mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Buku ini dapat membantu ke arah tersebut dan memberi petunjuk bagi pencarian keadilan atas peristiwa Amarah.


Sumber : (aci)

May 03, 2007

Ketika Chiwan Mencari Cinta Sejati

Ketika Chiwan Mencari Cinta Sejati

“Aku baru menemukan lagi cinta melebihi cinta yang dulu. Aku merasa Erna-lah cinta sejatiku. Dan inilah cintaku,” kata Chiwan, dengan mata berbinar.
Aku hanya menatapnya tajam bagai mata elang.
Ini bukan pertama kalinya ia mengungkapkan hal seperti itu. Sebelumnya, ketika ia jatuh cinta pada Anti, Sophie, dan Maya, ia mengungkapkan hal yang sama.
“Marinka, Aku jatuh cinta pada Erna. Dia adalah cinta sejatiku,” katanya lagi ketika melihatku tidak mengubris perkataannya.
Aku masih terdiam membisu dan terus mengamati wajah kakakku itu.
Chiwan terlihat meninggalkan tempatnya ketika mengetahui aku tidak menggubris perkataannya. Sementara aku, masih terpaku mendengar penuturannya barusan.

Pikiranku menerawang jauh dan teringat ketika mencari makna hakiki atau esensi dari sebuah cinta sejati. Sebuah metode pembelajaran hanya dengan mengandalkan sebuah kajian dan buku acuan.
Kajian mencari makna hakikat cinta pernah kulakukan bersama Andank, Solikhin, Plato, dan Tomi. Awalnya, kami mencoba mencari definisi cinta dulu sampai ketemu. Jika dalam ilmu jurnalistik kita mengenal rumus 5W + 1 H maka dalam mempelajari logika kita juga harus mengunakan rumus.
Rumus pertama menuju cara filsafat atau berfikir tentunya akan selalu bertanya pada persoalan epistomologi dulu. Seperti yang dipertanyakan Plato,” Apa itu cinta?”
Aku dan Solikhin pun mencoba mengambil pendekatan tentang cinta pada pengorbanan dengan mengumpulkan fakta bahwa sebenarnya yang namanya cinta identik dengan pengorbanan.
Platopun menemukan pendekatan cinta di kepalanya dengan pendekatan sebuah bentuk pengabdian. Mengabdi pada orang yang dicintai tanpa mengenal pamrih. Kemudian aku juga teringat kata Kanda Ahyard yang pernah memberiku materi tentang dialog kebenaran. Dalam logika berfikirnya, kami diantarkan untuk mengenal arti cinta dalam pendekatan ilmu alam yaitu menggunakan sebuah rumus fisika yaitu F=M.a
Dimana : F adalah gaya
M adalalah massa
dan
a adalah kecepatan.

Pasti ada pertanyaan apa hubungan dengan pengorbanan? Simpel aja. Gaya (F) disini sama halnya dengan pengorbanan. Contohnya ketika seorang ingin kerumah pacarnya dengan menggunakan sepeda, maka ia memerlukan yang namanya pengorbanan. Mengayung sepeda adalah gaya yang dimiliki dan itu adalah bagian pengorbanan.
Masih bingung? Memang akan bingung tapi itulah filsafat. Sebaiknya gunakan logika berfikir sederhana dan jangan terlalu dipikirkan bisa gila seperti Nietze.
Otak kami terus berputar untuk mencari definisi cinta. Hingga akhirnya, kamipun menyatukan persepsi bersama. Tidak ada definisi cinta karena kami selalu kandas ketika ada kata awal yang kami angkat.
Itu terjadi ketika baru memasukkan satu kata saja seperti pengorbanan. Kami harus mengkaji pengorbanan yang seperti apa. Kepada siapa? Dan…bla…bla..bla……
Akhirnya kami sepakat merumuskan bahwa cinta adalah sesuatu yang tidak akan bisa didefinisikan karena ketika didefinisikan itu akan menyebabkan makna dari cinta itu semakin menyempit. Sedangkan cinta itu luas tidak hanya berputar pada pengorbanan, pengabdian tapi masih banyak lagi seperti mengharap imbalan dan….bla…bla..
Tuntas mengenai kesepakatan awal mengenai cinta, kami melangkah pada arti hakikat cinta sejati. Apa hakikat cinta itu sebenarnya? Apakah cinta kepada pacar? Ibu, Ayah, saudara atau kepada siapa cinta yang sebenarnya? Lalu kalau memang kita cinta, apakah kita akan ikut mati dengan sesuatu yang kita cintai?
Kami beberapa kali harus memutar otak bagaimana ukuran cinta sejati itu. Apakah kebencian seseorang terhadap pacarnya karena cinta sejati yang tidak bisa dirangkul.
Kalau demikian, apa mungkin jika yang mungkin itu diganti dengan yang tidak mungkin. Seperti ketika Plato bertanya, “Mampukah Tuhan menciptakan sesuatu yang dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”
Dimana kita meletakkan cinta sejati itu dan dimana cinta sejati itu ada. Apakah ada pada pacar? Terhadap orang tua? Atau yang lainnya?
Plato kemudian mengambil ukuran bahwa cinta sejati itu ada pada pacar. Tapi tidak mungkin jika sang pacar mati kita juga ikut mati. Akhirya cinta pada pacar gugur dengan sendirinya. Andank lalu mengambil patokan ukuran cinta sejati hanya ada pada orangtua. Bukankah orangtua adalah paling berjasa pada diri kita. Setiap anak pasti memiliki ikatan bathin yang kuat terhadap orangtuanya.
Tapi pertanyaannya kemudian mampukah kita berkorban. Toh, banyak anak membunuh orangtuanya. Atau mampukah si anak berkorban ikut pula mati dengan orangtua sebagai bukti cinta sejati. “Itu tidak mungkin,” kataku. Lalu untuk ukuran saudara bagaimana?
“Impossibel cinta sejati terhadap orangtua saja tidak ada apalagi dengan saudara,” kata Andank. Akhirnya kamipun menyimpulkan cinta sejati dengan patokan saudara juga gugur dengan sendiri.
“Mengapa tidak mengambil patokan Tuhan sebagai hakikat cinta sebenarnya,” kataku. “Dalam buku Jalaluddin dijelaskan cinta sejati hanya ada pada-Nya,” tambahku lagi.
Teman-teman tidak langsung mengadopsi kata-kata Jalaluddin tapi mencoba mencari titik temunya. Kami lalu membolak-balikan buku tentang cinta sejati itu. Akhirnya kajianpun tuntas dan kami pun menemukan dimana letak dan posisi cinta sejati itu.

***
Enam bulan berlalu, kini Chiwan tertawa di ujung sana. Disebua pelamin berhias kilauan warna-warni menyilaukan mata. Kini, ia bersanding dengan seorang perempuan berparas ayu. Perempuan itu bukan Erna, Anti, Sophie, atau Maya yang merupakan mantan pacarnya terdahulu tapi Zusana. Perempuan yang baru dikenalnya tiga bulan lalu dan telah meruntuhkan keangkuhannya dan menurutnya adalah cinta sejatinya.
Setahun kemudian, Chiwan kembali menemuiku dengan hati dipenuhi kebimbangan dan meminta saranku.
“Ternyata Zusana bukan cinta sejatiku. Sekarang aku jatuh cinta lagi pada yang lainnya. Namanya Masya.Aku ingin bercerai dengan Zusana dan menikahi Masya. Aku merasa dialah yang paling kusuka karena hanya dia cinta sejatiku. Ini yang terakhir.”
Kupandangi penuh seksama ekspresi dari kakakku satu-satunya itu. Lagi-lagi pernyataan itu terulang untuk kesekian kalinya.
Aku hanya bisa terdiam sesaat lalu berujar, “Jangan pernah mengatakan seseorang itu adalah cinta sejatimu karena cinta sejati itu hanya ada pada-Nya.”
Kakakku kini yang terdiam.
Percayalah. Jika ada bertanya,”Untuk siapakah sebenarnya cinta sejati itu atau siapakah yang lebih pantas untuk dicintai?” Jawabnya, “Hanya Allah yang pantas kita cintai.”
“Lalu bagaimana jika aku menyukai seseorang?”
”Berikanlah kasih sayang atau cinta kepadanya sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah Allah tanamkan ke dalam hatimu. Bukan cinta disamping cinta kepada Allah,” ujarku lagi.
***
Berbicara tentang hakekat cinta yang juga bersentuhan dengan cinta sejati. Sebenarnya kakakku, Chiwan, tidak benar-benar mendapatkan cinta sejatinya karena cinta sejati yang dirasakannya hanyalah cinta yang hanya bersifat sementara.
Mengapa? Karena yakin saja perasaan cintanya suatu saat pasti akan berubah ketika menemukan yang melebihi dari mantan kekasihnya terdahulu.
Suatu saat kita akan kembali pada cinta sejati. Yaitu menghadap pada-Nya setelah melalui proses kematian.


Cinta akan merangkulmu dan menyanyikan nyayian cintanya dan Sesungguhnya cinta sejati itu hanya ada pada Diri-Nya dan tidak bisa dibagi pada yang lain


Makassar 30 September 2003