Suara ribut-ribut di luar kamar membuatku buyar dari konsentrasi menggarap buku Amarah Jilid Dua. Aku keluar kamar dan kulihat dua bocah saling umpat mengumpat. Aku berusaha melerai dua keponakanku yang sedang bertikai. Dua bocah yang bertikai itu namanya Putri Ansari Ridwan Sikati (6) dan Rahmat Ridwan Sikati (7). Putri biasa dipanggil Ade Puput dan Rahmat dipanggil Kaka. Kedua bocah itu adalah kakak beradik dan merupakan anak kakak ketigaku, Ridwan atau dipanggil Iwan, yang tinggal dan menetap di Kalimantan. Keduanya datang ke Makassar dibawa orangtuanya untuk liburan di Makassar. Ayahnya mengambil cuti selama sebulan dari tempatnya bekerja di perusahaan tambang Sanggata, Kalimantan Timur, bernama Kaltim Prima Coal (KPC).
“Ada apa Kaka menangis, Put? tanyaku dengan bahasa sedikit logat pada Putri yang berdiri menatap kakaknya yang menangis. Bahasa logat yang sering kugunakan setiap ngobrol dengan dua bocah centil itu.
Aku lalu menenangkan si sulung yang kini tengah menangis dengan posisi badan sandar di tembok sambil duduk.
“Ka diam, Ka. Kok nangis terus, sih…..”
“A-de Pu-put ja-hat,” ujarnya dengan terbata-bata.
“Iya kenapa?”
“Jahat. Ade Puput Jahat-Ade Puput Jahat.” Rahmat mengeluarkan kalimat itu berulang-ulang diiringi isak tangis dan nafas ngos-ngosan sambil dua kakinya digosok silih berganti di lantai.
“Aku nggak bisa hidup tanpa anakku, Tante.” Tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutnya. Dan tentunya membuatku tercengang, tersentak, dan juga cukup kaget. Khususnya pada kalimat, aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Apa maksudnya dia mengungkapkan itu?
“Aku tidak bisa hidup tanpa anakku. Anakkuuu, Tante….” Kalimat itu dia ulangi lagi dan aku benar-benar penasaran dan mencoba mencari tahu apa maksud perkataannya barusan.
Aku menatap Putri tajam. “Ka-ka mau ngambil i-ni-ni. Puput nggak mau, Tante,” ujar Putri dengan polos disertai gerakan kepala silih berganti ke kanan dan kekiri sambil menunjuk sebuah benda yang ada di tangannya dengan bantuan matanya.
Aku memperhatikan benda yang kini dipeluk Putri dengan erat. Aku kemudian mengerti yang dimaksud anaknya mungkin benda itu. Ketika menyadari yang dimaksud keponakanku itu anaknya adalah benda itu, aku langsung tertawa lepas dan kini menjadi tawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak, boneka dibilangin anaknya.
Dan tawaku membuat si sulung semakin menangis sejadi-jadinya. Mungkin dia merasa tawaku meledeknya. Aku merasa berdosa membuatnya semakin sedih dan mencoba membujuknya untuk diam.
“Ka diam Ka. Nanti Tante beliiin kamu boneka lagi, yah,” rayuku masih dengan berusaha menekan tawa.
“Nggak mauuuuuu. Aku mauuu anakkuuuuu yang di Ade Puput. Aku mau Lindaku. Aku nggak bisa hidup tanpa anakku. Oh Lindaku,” katanya kemudian dengan tangis sejadi-jadinya semakin keras. Dan aku menahan tawa sambil menutup mulut dengan tanganku. Perutmu mulai merintih karena kesakitan menahan tawa.
Tiga boneka yang ada di tangan Putri itu salah satunya diberi nama Linda. Lainnya ada bernama Lami dan Patrick. Cuman aku tidak tahu mana Lami dan mana Patrick. Tapi Linda adalah boneka dengan bentuk seperti kucing, berkumis, dan punya ekor memanjang. Dari cerita kakakku, boneka itu sebenarnya dipajang di belakang mobilnya sebagai aksesoris, tapi Rahmat mencabutnya. Kakakku sendiri dan istrinya sempat bingung kenapa anaknya memberi nama Linda pada boneka itu. Karena nama boneka itu tidak nyambung dengan bentuknya. Tapi dari Putri terungkap jika kakaknya naksir sama anak baru di sekolahnya bernama Linda. Anak salah seorang pejabat di Sanggata. Macam-macam saja.
Putri juga ikut-ikut mengejek kakaknya dengan intonasi berirama, “Jangan ambil anakku-jangan ambil anakku. Sungguh terlalu!! Ini punyaku, Kakak!!” Matanya melotot sinis memandang kakaknya. Rahmat semakin meraung-raung di lantai. Air matanya terus merembes keluar. Kuusap air matanya pakai ibu jariku. Lalu mendekapnya ke dalam pelukanku untuk menenangkannya dan aku masih sekuat tenaga mencoba menetralisir agar segera menghentikan tawaku.
Putri terus mengejek dan aku lalu memandang garang ke Putri agar berhenti mengejek. Putri kini diam tapi kemudian berusaha membela diri. “Kakakan udah punya tiga. Trus mau diambil satu lagi. Nah, kalau diambil satu, Kaka punya empat, dong. Trus Ade Puput cuman dua. Nggak mau, Tante.”
Kulepas Rahmat dari dekapanku dan dia masih menangis terus. Masih dengan air mata yang tumpah. Aku pusing bagaimana menenangkan makhluk cilik ini. Mana orangtuanya tidak ada lagi. Entah keluyuran kemana menggunakan kendaraanku.
“Put, kamu pinjamin aja Kaka. Atau kamu main mobil-mobilan aja.”
“Nggak ah. Aku sekarang lagi pengen main boneka, Tante. Ya Lami, Ya Patrick, Ya Linda. Kita main, yah,” ujarnya sambil mengajak ketiga boneka itu bicara. Dalam hati aku juga tertawa melihat tingkah Putri yang lucu karena mengajak tiga boneka di genggamannya bicara.
Aku terus membujuk si bungsu untuk menyerahkan satu boneka. Tiba-tiba TimeZone melintas di kepalaku. Ya.Ya. Sebuah resep yang menurutku paling jitu untuk membuatnya mengalah karena TimeZone adalah tempat paling dia sukai.
“Put, kasi Kaka satu, ya sayang. Nanti Tante beliin kamu. Trus kita main ke TimeZone,”rayuku.
Putri seperti terhipnotis dan mulai berangsur mengalah mendengar aku menyebut Timezone. Dan kini melompat-lompat girang. Lalu berujar, “Benar, yah. Awas lo kalau Tante boong lagi. Katanya mau ajak, tapi ternyata kamu nggak ajak. Alasannya kamu sibuk.”
Aku mengangguk sambil mengajungkan jari telunjuk dan tengah sehingga membentuk huruf V. “Iya. Janji.”
“Awas kalau nggak. Aku mainin laptopnya sampai rusak!!”
“Iya. Sayang.”
Dia lalu memberikan tiga boneka itu sekaligus pada kakaknya. “Nih, Kak. ambil aja. Aku diajak Tante main di Timezone.”
Rahmat kini diam. Sementara Putri menuju ke lantai bawah. Sambil berteriak-teriak, “Om Rusdi-Om Rusdi-Om Rusdikuuuuu. Kamu dimanaaaa? Aku diajak Tante ke TimeZone.” Aku geleng kepala melihat tingkah bocah centil dengan rambut dikepang dua itu.
* * *
AKU masuk kamar. Sejak kecil, keponakanku yang sulung ini memang tidak pernah lepas dari yang namanya boneka. Setiap tidur, harus ada boneka di pelukkannya. Kalau tidak ada boneka, dia tidak akan bisa tidur. Awalnya, orangtuanya yang menerapkan itu. Memberi Rahmat sebuah boneka di genggamannya sejak dia masih bayi.
Aku jadi teringat May, mungkin Tanteku dan ibuku juga menerapkan hal yang sama pada anak-anaknya dulu. Itu sebabnya, May tidak akan bisa tidur tanpa salib dan aku sangat susah lepas dari namanya tasbih berupa gelang di tangan dan Al Qur’an. Itu karena orangtua kami sejak kecil mendekatkan benda-benda itu hingga membuat kami menjadi sangat tergantung.
Kembali pikiranku melayang ke keponakanku. Jika Rahmat disuruh memilih boneka atau mobil-mobilan, dia akan memilih boneka. Sejak kecil, kakakku sengaja memperkenalkan mainan lembut-lembut pada anak lelakinya seperti boneka dan pada anaknya yang perempuan diperkenalkan mainan seperti mobil-mobilan dan pesawat-pesawat.
Dia sengaja melakukan hal ini untuk membuktikan jika gender itu bukan kodrat dan bisa dibentuk. Alhasil anaknya jadi sampel kelinci percobaan.
Sehingga apa yang terjadi, ketika anaknya sudah besar, yang laki-laki menjadi tergantung pada boneka daripada mainan mobil-mobilan, tapi memiliki perasaan peka, halus, perhatian pada kawan-kawannya dan yang perempuan sedikit tomboy, tidak cengeng, dan menjadikan mainan mobil-mobilan sebagai mainan kebesarannya, meski masih sering juga main boneka.
Hingga kemudian kakakku pernah mengatakan, “Sebenarnya dari dulu aku memang percaya jika manusia tidak terlahir menjadi laki-laki atau perempuan tetapi dijadikan laki-laki atau perempuan. Menjadi laki-laki atau menjadi perempuan itu merupakan proses pembelajaran atau sosialisasi. Aku telah membuktikan pada anak-anakku.”
Ya. Menjadi perempuan atau laki-laki bukanlah kodrat, bukan pembawaan sejak lahir. Bukan pula wahyu Ilahiah. Melainkan terbentuk secara diskursif. Yaitu terbentuk dalam dan melalui praktek tanda bahasa…
December 24, 2007
Catatan kecil bersama keponakanku (1)
Diposting oleh APRIL MAKASSAR BERDARAH (AMARAH) 96 di 8:38 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment