BEBERAPA jam kemudian. Aku duduk di ruang tamu. Di luar, adik paling bungsuku, Rusdi, memperbaiki mobil kakak pertamaku, Udin, yang barusan ditabrak pete-pete dari belakang. Kulihat Putri ikut disampingnya memperhatikan Om kesayangannya itu sambil duduk berjongkok.
Sesekali Putri diperintah untuk mengambil alat-alat bengkel yang ada di dalam box dan dengan lincahnya, dia menemukan benda itu setelah mendapat gambaran model benda tersebut dari adikku.
“Put, ambilin lagi Om benda yang panjang, ujungnya bundar ada tulisan limanya.” Ketika perintah itu usai terdengar, Putri dengan lincahnya mengobrak abrik box dan selanjutnya, “Nih, Om.”
Adikku lalu tersenyum sambil memujinya, “Ade Puput pintar.” Yang dipuji tampak kegirangan.
Sementara itu, kulihat Rahmat tertidur dengan pulas di karpet yang ada di depan televisi sambil mendekap Linda. Mungkin dia kecapean menangis.
“Barusan Rahmat lucu sekali. Masa boneka dibilang anaknya. Trus dia bilang lagi, aku tidak bisa hidup tanpa anakku,” kataku sambil tertawa ketika melihat istri kakakku baru saja datang dengan kantong belanjaan bertulis Matahari.
Perempuan yang pernah menjadi anggota legislatif dari Golkar di Sanggata itu lalu berujar,”Iya. Itu nah kalau di rumah, sebelum Kaka pergi sekolah, pasti pamit sama bonekanya.”
“Masa, sih?”
“Iya, dia ngomong, kamu tidur, yah, Nak. Aku sekolah dulu. Pulang sekolah juga gitu. Dia tanya ma bonekanya, kamu udah makan, blom, Nak? Kalau belum, aku akan ambilin kamu makanan anakku sayang,” katanya sambil tertawa.
Aku ikut tertawa mendengar perkataan iparku itu.
“Itu anak benar-benar,” kataku sambil geleng-geleng dan masih dengan tawa yang kubiarkan terhempas keluar. Aku tidak bisa menahannya. Dan seperti biasa, tiap aku tertawa perutku ikut sakit. Aku menuju menuju ke kamar masih dengan tawa lebar bahkan sangat lebar. Lucu sekali itu anak.
* * *
SEPERTI janjiku, malamnya, aku mengajak kedua keponakanku ke TimeZone yang ada di Panakukang bermain. Mereka asyik bermain bola basket. Seperti biasa, Putri lebih gesit memasukkan bola ke dalam keranjang daripada kakaknya.
Pukul 19.30 Wita. Sebuah sms masuk ke ponselku.
“Ka, anak-anak ngumpul di KopiZone. Ke sini.”
Pesan singkat dari Ida itu lalu kubalas. “Saya lagi di Diamond. Iya nanti.”
Letak Diamond dan KopiZone masih satu kompleks. Aku melihat kedua keponakannku berlomba memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Sudah berantem kini akur lagi. Mereka memang seperti itu. Berantem kemudian Akur, Berantem lagi lalu akur lagi, dan begitu seterusnya. Seandainya para politisi-politisi kita seperti itu.
Aku sebenarnya ingin bergabung dengan kawan-kawanku. Tapi keponakanku? Kemudian aku kepikiran untuk menitip keponakanku di sebuah permainan rumah-rumahan. Aku lalu mengajak dua bocah itu bermain di lantai dasar Ramayana saja. Di situ ada permainan rumah-rumah tingkat empat yang dikelilingi sebuah besi. Didalamnya, ada balon-balon, luncuran, bola-bola, dan ayunan.
Permainan itu kubayar limapuluh ribu untuk mereka berdua. Tempat itu kuanggap aman untuk mereka bermain. Orangtuanya tiap kali belanja juga selalu melakukan hal sama. Meninggalkan anaknya bermain di mal dan mereka sibuk bebelanja keliling mal. Tapi aku masih ragu meninggalkannya. Kini aku duduk di sebuah kursi sambil memperhatikan keduanya saling dorong-dorongan di mainan luncuran. Hatiku masih saling tanya jawab. Pergi-tidak. Pergi-tidak. Aku belum membuat keputusan.
Rahmat dari jauh menatapku dan kemudian menuju ke arahku. “Tante kalau kamu mau pergi, pergi aja. Biar Kaka dan Ade Puput dititip di sini aja main sepuasnya,” ujar Rahmat yang membuatku kaget.
Kebetulan sekali. Rupanya bocah kecil yang sejak umur tiga tahun sudah mengenal komputer, sedikit pandai Bahasa Inggris, paling suka main game apalagi game catur ini, membaca pikiranku. Setelah mengungkapkan itu, dia lalu berlari masuk ke dalam bangunan rumah-rumahan.
Aku lalu berteriak memanggilnya diiringi dengan isyarat tangan, “Kaka. Sini dulu kamu.”
Dia tergopoh-gopoh kembali ke arahku. “Nggak apa-apa aku tinggalin kamu di sini main?”
Dia mengangguk.
Aku lalu berpesan padanya untuk tidak nakal dan menjaga adiknya.
“Jaga Ade Puput. Jangan nakal. Tante mau ke tempat teman. Nanti Tante balik jemput. Jam sepuluh tepat,” kataku sambil menyerahkan dua minuman Susu Indomilk botol dan disambut dengan anggukannya.
“Ingat, kalau ada yang ngajak pergi jangan ikut, yah,”pesanku lagi dan meninggalkan satu ponselku untuknya untuk dipakai jika ingin menghubungiku. Aku juga titip pesan sama penjaga mainan untuk menjaganya.
“Mbak tolong kodong dua anakku itu dijaga.”
Si penjaga mengangguk tapi sedikit kaget, “Oh itu anaknya, yah?”
Aku mengangguk. Penjaga itu mungkin tidak percaya dengan perkataanku barusan. Karena wajahku dan wajah keponakanku itu memang tidak mirip. Kedua wajah keponakanku lebih didominasi wajah ibunya ketimbang kakakku yang wajahnya sedikit mirip dengan diriku. Tapi aku tidak mau pusing. Dari jauh dua keponakanku bermain bersama dan tertawa-tawa riang. Mereka begitu menikmati indahnya masa kecil.
* * *
AKU lalu menuju ke KopiZone. Di sana, pengurus HMI dari Komisariat Ekonomi sudah berkumpul.
“Kak Iffank dalam perjalanan ke sini,” ujar Ida ketika aku duduk.
“Oh, yah!!” Kak Iffank adalah seniorku di Ekonomi dan pernah aktif ber HMI. Lelaki bernama lengkap Nirfan Arhat itu sekarang lebih banyak beraktifitas di Jakarta. Tidak lama orang yang kutunggu datang. Dia kaget melihatku dan aku juga kaget melihat perubahannya. Sedikit gemuk. Entah mengapa, kawan-kawan lama yang kutemui badanya semakin melebar. Mungkin mereka telah sukses menaklukkan dunia.
Aku berdiskusi dengan Iffank. Setelah Iffank pamit, aku membuka laptop dan melihat portal http;//www.tribun-timur.com.
“Inka, Kak Olleng,” Ida berujar.
Aku mengangkat kepala dan mencari nama yang barusan disebut Ida. Dan ketika kutangkap bayangnya aku memanggilnya. “Kak Olleng.” panggilku saat melihatnya melintas di hadapanku. Dia menghampiriku dan aku mengulurkan tangan menjabat tangannya.
“Kapanki datang dari Jakarta?” tanyaku pada lelaki yang bernama lengkap Syamsuddin Rajab dan kini menjadi Ketua Umum PBHI Pusat.
“Sudah beberapa hari, Dek. Rumahku yang di Manuruki baru saja terbakar. Bukuku semua habis terbakar,” ujar lelaki bertubuh subur itu dan membuatku kaget.
“Astaga!!!”
“Jadi buku yang saya janji juga ikut terbakar,” katanya dan kubalas dengan kata tidak apa-apa.
“Kak, saya mau Kak Olleng berkomentar di bukuku. Soalnya nilai jualnya sekarang Kak Olleng tinggi,” kataku sambil bergurau dan membuatnya tertawa.
“Ah! Kamu itu!!”
“Seriuska, Kak.”
“Oke kalau gitu. Nanti kukirim melalui e-mailmu,” katanya dan memperlihatkan telapak tanggannya di udara dan berujar lagi, “Ces dulu padeng.”
“Oke,” sambungku sambil meng-tos telapak tangannya. Dia kini berlalu. Pukul sepuluh, aku lalu pamit sama teman-teman dan menjemput dua bocah yang tadi kutitip di lantai dasar Ramayana bermain. Aku penasaran sama mereka berdua. Apakah berantem lagi?
December 24, 2007
Catatan kecil bersama keponakanku (2)
Diposting oleh APRIL MAKASSAR BERDARAH (AMARAH) 96 di 8:38 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment