August 14, 2007

Kemana Gerakan Mahasiswa UMI Kini ?

Kemanaka gerakan mahasiswa UMI sekarang? Itu juga yang menjadi pertanyaanku. Padahal di zaman Orde Baru, mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) termasuk cukup vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.
Era tahun 90 an, aksi dan gerakan pertama selalu bermula di kampus ‘hijau’ ini baru disusul di kampus-kampus lain. Tidak heran jika aksi dari mahasiswa UMI selalu menjadi sasaran terberat harus dihadapi aparat dibandingkan dengan universitas lain. Mahasiswa UMI selalu dituduh sebagai provokator karena basis massanya cukup besar.
Kritisnya mahasiswa UMI dalam setiap kebijakan ditetapkan pemerintah tidak terlepas dari personaliti mahasiswanya yang telah dibekali pencerahan qalbu (iman dan taqwa) dan pencerahan akal (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Tidak hanya itu, ruang birokrasi mendukung dan turut andil dalam membesarkan gerakan mahasiwa UMI. Mahasiswa yang aksi di jalan tidak pernah dikungkung. Ruang berekspresi itu begitu bebas terbuka. Mahasiswa tidak akan di DO hanya karena mereka turun aksi atau lama menyelesaikan kuliah hanya karena lebih konsentrasi memikirkan gerakan daripada kuliah. Toh UMI adalah universitas swasta bukan negeri.
Selain itu, organisasi yang terbuka lebar membuat mereka menjadi mahasiswa ‘kaya’ dengan berbagai ilmu. Organisasi besar yang ada di UMI itu seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Selain tumbuh subur organisasi gerakan mahasiswa juga banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di dalam kampus. Mulai dari Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa (UPPM) yang bergerakan dibidang gerakan dan koran mahasiswa, Mapala, penyiaran radio komunitas Maestro Gate, UKM Seni, dan masih banyak lagi.
Dukungan dari organisasi mahasiswa dan UKM inilah kemudian membuka mata mereka melihat kenyataan. Bahwa diperlukannya sebuah perlawanan ketika bentuk penindasan dilakukan pihak tertentu.
Banyak kasus yang digencarkan gerakan mahasiswa UMI sehingga menjadi kasus besar dan dicatat dalam sejarah. Tarulah kasus helm yang terjadi di tahun 1985 lalu disusul kasus April Makassar Berdarah (Amarah) yang terjadi di tahun 1996, lalu di tahun 1998 yang akhirnya membuat Suharto harus lengser setelah berkuasa 32 tahun.
Lalu pada September 2000, mahasiswa UMI beraksi menolak masuknya beras impor ke Sulawesi Selatan. Dua mahasiswa UMI disel, yaitu Surya dan almarhum Nasrullah. Keduanya berasal dari pergerakan bernama FOSIS UPPM UMI. Bentrokan bermula di gedung DPRD Sulsel dan merembet ke depan kampus UMI di Jalan Urip Sumoharjo.
Selanjutnya pada Juni 2001, mahasiswa menuntut penghapusan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Mahasiswa UMI unjuk rasa di DPRD. Mahasiswa sempat diburu anjing milik aparat dan disiram gas air mata.
Pada 18 Februari 2004, mahasiswa bentrok dengan aparat karena memprotes Mahkamah Agung yang memvonis bebas Akbar Tandjung. Mahasiswa ngotot menutup jalan, sementara aparat perintis berkeras membuka jalur jalan. Aparat sempat menerobos ke dalam kampus. Tiga mahasiswa ditangkap dan sebuah sepeda motor milik mahasiswa rusak.
Terakhir pada kasus 1 Mei 2004. Pada kasus ini, mahasiswa seperti mengukir kembali bentrokan dengan aparat seperti yang terjadi di tahun 1996.
Namun, pasca kasus 1 Mei 2004, menjadi sebuah pelajaran cukup berarti bagi birokrat UMI. Pembenahan institut bagi kampus berlebel islami mulai dilakukan dengan pencerahan qalbu bagi mahasiswanya. Mahasiswa baru (Maba) tidak lagi diopspek oleh para senior. Opspek ini dinyatakan, sebagai proses penanaman ide dari senior ke junior untuk berontak makanya perlu dihilangkan dan diganti dengan pesantren kilat di Padang Lampe.
Tidak heran, jika pergerakan mahasiswa UMI mengalami degradasi. Adanya tekanan dari birokrat dan pemberian cap ‘merah’ pada nilai mahasiswa yang turun aksi ternyata berhasil. Maba yang sedari awal tidak mendapat dokrin dari senior menjadi mahasiswa lemah, memfokuskan diri pada kuliah dan tidak mampu membaca gerakan.
Kiblat gerakan yang dulunya di UMI, kini bergeser ke kampus lain seperti Universitas 45, Universitas Negeri Makassar (UNM), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Lihat saja bagaimana aksi yang dulunya bermula dari kampus UMI, kini dimulai di kampus-kampus di luar UMI. Pengikisan gerakan-gerakan ini memang perlu segera dibenahi oleh mahasiswa yang kini masih merasa dirinya mahasiswa.
Mahasiswa yang berhenti berjuang adalah mahasiswa yang telah dimobilisir karena tidak memiliki keterampilan mengorganisir diri dan tidak memiliki kekuatan moral. Dan mungkin seperti itulah yang kini terjadi pada mahasiswa UMI.
Padahal, tugas inti mahasiswa adalah bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi intelektual akademisi, fungsi cadangan masa depan (iron stock), dan fungsi agen perubah (agent of change).
Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Sehingga dengan demikian, mahasiswa senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai serorang mahasiswa sejati.
Di luar dari persoalan itu, kemana gerakan mahasiswa UMI kini. Dimanakah nyalimu?