May 24, 2007

friendster

http://www.friendster.com/15116455

May 15, 2007

.:: You'll Never Walk Alone ::.

When you walk through a storm
Hold your head up high,
And don't be afraid of the dark.
At the end of a storm,
There's a golden sky,
And the sweet silver song of a lark.

Walk on through the wind, Walk on through the rain,
Though your dreams be tossed and blown...
Walk on, walk on, with hope in your heart,
And you'll never walk alone... You'll never walk alone.

Walk on, walk on, with hope in your heart,
And you'll never walk alone...
You'll never walk alone


From IKOHI

May 05, 2007

Berita tentang Buku Amarahku di Media


Diterbitkan di Koran Fajar 11 April 2005

Buku Refleksi 'Amarah 1996' Terbit
(11 Apr 2005, 39 x , Komentar)

MAKASSAR-- Masih ingat dengan peristiwa April Makassar Berdarah (Amarah) 1996? Bagi mereka yang ingin mencari jawaban tentang misteri itu kini bisa mencari bukunya.Buku yang bercerita tentang tragedi Amarah 1996 yang ditulis, Rasmi Ridjang Sikati telah diterbitkan.
Buku yang rencananya akan didiskusikan bersamaan dengan peringatan "Amarah" 24 April mendatang diterbitkan Ombak Yogyakarta. Ridjang Sikati, penulis buku tersebut merupakan seorang wartawati di Makassar.

Manajer Ombak, M Nursam mengatakan, buku itu merupakan refleksi peristiwa Amarah yang disinyalir telah terjadi pelanggaran HAM berat. Prof Baharuddin Lopa semasa hidupnya pernah mengatakan, memang ada pelanggaran HAM. Menurut Dr Aswanto, kasus Amarah secara yuridis merupakan pelanggaran HAM. Sebab kasus tersebut memenuhi unsur pelanggaran HAM berat (pasal 8 UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM.

Sebagaimana dikatakan penulisnya, buku itu mencoba merefleksikan dan memanifestasi prosesi dari rentetan peristiwa berdarah pada 24 April 1996. Refleksinya dimulai dari latar belakang peristiwa, insiden, korban, pengadilan, dan penahanan terhadap aparat yang terlibat di dalam kasus Amarah.

Buku itu sangat relevan dengan situasi saat ini saat mana seluruh mahasiswa Indonesia turun ke jalan meneriakkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM)--hal yang sama dilakukan pada kasus Amarah sembilan tahun silam. Buku itu juga merupakan catatan dosa politik Orde Baru dan menambah daftar panjang halaman ?buku hitam? Orde Baru yang harus dipertanggungjawabkan. Pada titik inilah, tuntutan keluarga korban agar kasus Amarah untuk diusut kembali menemukan relevansinya.

Sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa pertengahan 90-an, peristiwa Amarah 1996 perlu ditempatkan pada konteks yang luas tentang situasi sosial politik saat peristiwa itu berlangsung. Hal itu dimaksudkan agar kita mampu melihat persoalan Amarah secara komprehensif dan holistik dan juga mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Buku ini dapat membantu ke arah tersebut dan memberi petunjuk bagi pencarian keadilan atas peristiwa Amarah.


Sumber : (aci)

May 03, 2007

Ketika Chiwan Mencari Cinta Sejati

Ketika Chiwan Mencari Cinta Sejati

“Aku baru menemukan lagi cinta melebihi cinta yang dulu. Aku merasa Erna-lah cinta sejatiku. Dan inilah cintaku,” kata Chiwan, dengan mata berbinar.
Aku hanya menatapnya tajam bagai mata elang.
Ini bukan pertama kalinya ia mengungkapkan hal seperti itu. Sebelumnya, ketika ia jatuh cinta pada Anti, Sophie, dan Maya, ia mengungkapkan hal yang sama.
“Marinka, Aku jatuh cinta pada Erna. Dia adalah cinta sejatiku,” katanya lagi ketika melihatku tidak mengubris perkataannya.
Aku masih terdiam membisu dan terus mengamati wajah kakakku itu.
Chiwan terlihat meninggalkan tempatnya ketika mengetahui aku tidak menggubris perkataannya. Sementara aku, masih terpaku mendengar penuturannya barusan.

Pikiranku menerawang jauh dan teringat ketika mencari makna hakiki atau esensi dari sebuah cinta sejati. Sebuah metode pembelajaran hanya dengan mengandalkan sebuah kajian dan buku acuan.
Kajian mencari makna hakikat cinta pernah kulakukan bersama Andank, Solikhin, Plato, dan Tomi. Awalnya, kami mencoba mencari definisi cinta dulu sampai ketemu. Jika dalam ilmu jurnalistik kita mengenal rumus 5W + 1 H maka dalam mempelajari logika kita juga harus mengunakan rumus.
Rumus pertama menuju cara filsafat atau berfikir tentunya akan selalu bertanya pada persoalan epistomologi dulu. Seperti yang dipertanyakan Plato,” Apa itu cinta?”
Aku dan Solikhin pun mencoba mengambil pendekatan tentang cinta pada pengorbanan dengan mengumpulkan fakta bahwa sebenarnya yang namanya cinta identik dengan pengorbanan.
Platopun menemukan pendekatan cinta di kepalanya dengan pendekatan sebuah bentuk pengabdian. Mengabdi pada orang yang dicintai tanpa mengenal pamrih. Kemudian aku juga teringat kata Kanda Ahyard yang pernah memberiku materi tentang dialog kebenaran. Dalam logika berfikirnya, kami diantarkan untuk mengenal arti cinta dalam pendekatan ilmu alam yaitu menggunakan sebuah rumus fisika yaitu F=M.a
Dimana : F adalah gaya
M adalalah massa
dan
a adalah kecepatan.

Pasti ada pertanyaan apa hubungan dengan pengorbanan? Simpel aja. Gaya (F) disini sama halnya dengan pengorbanan. Contohnya ketika seorang ingin kerumah pacarnya dengan menggunakan sepeda, maka ia memerlukan yang namanya pengorbanan. Mengayung sepeda adalah gaya yang dimiliki dan itu adalah bagian pengorbanan.
Masih bingung? Memang akan bingung tapi itulah filsafat. Sebaiknya gunakan logika berfikir sederhana dan jangan terlalu dipikirkan bisa gila seperti Nietze.
Otak kami terus berputar untuk mencari definisi cinta. Hingga akhirnya, kamipun menyatukan persepsi bersama. Tidak ada definisi cinta karena kami selalu kandas ketika ada kata awal yang kami angkat.
Itu terjadi ketika baru memasukkan satu kata saja seperti pengorbanan. Kami harus mengkaji pengorbanan yang seperti apa. Kepada siapa? Dan…bla…bla..bla……
Akhirnya kami sepakat merumuskan bahwa cinta adalah sesuatu yang tidak akan bisa didefinisikan karena ketika didefinisikan itu akan menyebabkan makna dari cinta itu semakin menyempit. Sedangkan cinta itu luas tidak hanya berputar pada pengorbanan, pengabdian tapi masih banyak lagi seperti mengharap imbalan dan….bla…bla..
Tuntas mengenai kesepakatan awal mengenai cinta, kami melangkah pada arti hakikat cinta sejati. Apa hakikat cinta itu sebenarnya? Apakah cinta kepada pacar? Ibu, Ayah, saudara atau kepada siapa cinta yang sebenarnya? Lalu kalau memang kita cinta, apakah kita akan ikut mati dengan sesuatu yang kita cintai?
Kami beberapa kali harus memutar otak bagaimana ukuran cinta sejati itu. Apakah kebencian seseorang terhadap pacarnya karena cinta sejati yang tidak bisa dirangkul.
Kalau demikian, apa mungkin jika yang mungkin itu diganti dengan yang tidak mungkin. Seperti ketika Plato bertanya, “Mampukah Tuhan menciptakan sesuatu yang dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”
Dimana kita meletakkan cinta sejati itu dan dimana cinta sejati itu ada. Apakah ada pada pacar? Terhadap orang tua? Atau yang lainnya?
Plato kemudian mengambil ukuran bahwa cinta sejati itu ada pada pacar. Tapi tidak mungkin jika sang pacar mati kita juga ikut mati. Akhirya cinta pada pacar gugur dengan sendirinya. Andank lalu mengambil patokan ukuran cinta sejati hanya ada pada orangtua. Bukankah orangtua adalah paling berjasa pada diri kita. Setiap anak pasti memiliki ikatan bathin yang kuat terhadap orangtuanya.
Tapi pertanyaannya kemudian mampukah kita berkorban. Toh, banyak anak membunuh orangtuanya. Atau mampukah si anak berkorban ikut pula mati dengan orangtua sebagai bukti cinta sejati. “Itu tidak mungkin,” kataku. Lalu untuk ukuran saudara bagaimana?
“Impossibel cinta sejati terhadap orangtua saja tidak ada apalagi dengan saudara,” kata Andank. Akhirnya kamipun menyimpulkan cinta sejati dengan patokan saudara juga gugur dengan sendiri.
“Mengapa tidak mengambil patokan Tuhan sebagai hakikat cinta sebenarnya,” kataku. “Dalam buku Jalaluddin dijelaskan cinta sejati hanya ada pada-Nya,” tambahku lagi.
Teman-teman tidak langsung mengadopsi kata-kata Jalaluddin tapi mencoba mencari titik temunya. Kami lalu membolak-balikan buku tentang cinta sejati itu. Akhirnya kajianpun tuntas dan kami pun menemukan dimana letak dan posisi cinta sejati itu.

***
Enam bulan berlalu, kini Chiwan tertawa di ujung sana. Disebua pelamin berhias kilauan warna-warni menyilaukan mata. Kini, ia bersanding dengan seorang perempuan berparas ayu. Perempuan itu bukan Erna, Anti, Sophie, atau Maya yang merupakan mantan pacarnya terdahulu tapi Zusana. Perempuan yang baru dikenalnya tiga bulan lalu dan telah meruntuhkan keangkuhannya dan menurutnya adalah cinta sejatinya.
Setahun kemudian, Chiwan kembali menemuiku dengan hati dipenuhi kebimbangan dan meminta saranku.
“Ternyata Zusana bukan cinta sejatiku. Sekarang aku jatuh cinta lagi pada yang lainnya. Namanya Masya.Aku ingin bercerai dengan Zusana dan menikahi Masya. Aku merasa dialah yang paling kusuka karena hanya dia cinta sejatiku. Ini yang terakhir.”
Kupandangi penuh seksama ekspresi dari kakakku satu-satunya itu. Lagi-lagi pernyataan itu terulang untuk kesekian kalinya.
Aku hanya bisa terdiam sesaat lalu berujar, “Jangan pernah mengatakan seseorang itu adalah cinta sejatimu karena cinta sejati itu hanya ada pada-Nya.”
Kakakku kini yang terdiam.
Percayalah. Jika ada bertanya,”Untuk siapakah sebenarnya cinta sejati itu atau siapakah yang lebih pantas untuk dicintai?” Jawabnya, “Hanya Allah yang pantas kita cintai.”
“Lalu bagaimana jika aku menyukai seseorang?”
”Berikanlah kasih sayang atau cinta kepadanya sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah Allah tanamkan ke dalam hatimu. Bukan cinta disamping cinta kepada Allah,” ujarku lagi.
***
Berbicara tentang hakekat cinta yang juga bersentuhan dengan cinta sejati. Sebenarnya kakakku, Chiwan, tidak benar-benar mendapatkan cinta sejatinya karena cinta sejati yang dirasakannya hanyalah cinta yang hanya bersifat sementara.
Mengapa? Karena yakin saja perasaan cintanya suatu saat pasti akan berubah ketika menemukan yang melebihi dari mantan kekasihnya terdahulu.
Suatu saat kita akan kembali pada cinta sejati. Yaitu menghadap pada-Nya setelah melalui proses kematian.


Cinta akan merangkulmu dan menyanyikan nyayian cintanya dan Sesungguhnya cinta sejati itu hanya ada pada Diri-Nya dan tidak bisa dibagi pada yang lain


Makassar 30 September 2003