June 05, 2007

CERPEN : Suatu Saat Pasti Ada Jawabannya

KITA memang manusia pertengahan tidak mampu menentukan apa yang harus diambil, apakah akan ke Utara, Timur, Selatan atau ke Barat. Kita hanya mampu berdiri pada posisi masing-masing sambil mempertahankan argumen kita.
Egois. Betapa egoisnya kita sebagai manusia yang hanyalah hamba sang Khalik. Betapa sombongnya kita untuk saling jujur. Apa yang harus disombongkan? Mengapa manusia begitu angkuh?
Tapi bagaimana dengan realitas yang diciptakan Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan dualitas agar kita bisa memilih. Toh Hidup penuh pilihan. Lalu bagaimana dengan pilihan ini.
Apa yang salah. Mengapa tidak ada satu solusi menyelesaikan masalah yang sederhana ini? Toh ini bukan masalah rumit. Manusia sendirilah yang merumit-rumitkan masalah.
“Ini hanya diskomunikasi saja, kan Win?”
“Kapal itu akan tenggelam Win,” kataku pada waktu itu dengan sepasang mata menatap tajam ke arahmu. Kucoba menggunakan pikiranku membaca ekspresi, bahasa tubuh atas setiap jawaban yang keluar dari bibirmu. Aku tahu begitu banyak pertanyaan yang ada di benakmu.
Tapi bukan kamu yang merasakan seperti itu. Kalaupun itu ditanyakan kepada saya sebenarnya ada beratus-ratus atau beribu-ribu pertanyaan di kepalaku terus berkecamuk tentang apa yang kurasa. Lalu harus bagaimana lagi, kita diam? Biarkan semua? Atau aku yang mengalah? Toh takdir di tangan Tuhan, kalaupun akan menelusuri jalan yang beda akhirnya akan bertemu kembali di satu kosmos. Hanya metodologinya saja yang beda. Toh tujuannya hanya satu dan sama.
Lalu bagaimana dengan kapal yang akan kita bawa sekarang, Win? Aku mengalah atau kamu mengalah. Atau kita membiarkan sama-sama terombang-ambing di lautan lepas. Pasrah merelakan maut menggapai kita hingga larut dan tenggelam di dalamnya ditelan ombak pantai yang naas itu tanpa ada prosesi dan perjuangan melepaskannya.
Aku capek, letih untuk harus membahas semua masalah ini Win. Aku ingin tenang. Malas aku berjuang tanpa ada juntrungannya. Aku kasian dengan kapal yang kita bawa sekarang, kita sering berbeda pendapat.
Ah…… Aku mau pergi saja Win, tapi bagaimana caranya ada tidak prosesi meninggalkan problema tanpa ada penyesalan. Penyesalan itulah biang keladi yang carut marut terus. Aku tak ingin menjamah, menyentuh apalagi mengalami penyesalan. Ih ……Tentu pahit sekali Win. Bagaimana dengan kamu Win?
Banyak SMS menyapa, memaki serta menjadi tim penilai atas hubungan kita. Berkomentar atas kesalahan atas pilihanku, mengenai sosokmu. Urakan betul mereka menilai kamu, ngapain juga mereka masuk dilingkaran kita. Dasar! Tapi bagaimana lagi? Toh mereka memang penoton setia.
”Siapa suruh jadi public figur,” ungkapan nyelengkit semua makhluk yang notabene manusia itu. Toh saya tetap mengambil sikap konsisten walaupun hujan badai turun.
Puih! Aku muak.Padahal puluhan SMS antrian mengajakku meraih bahterah baru. Tapi aku masih konsisten setia terus disini membiarkan kapal itu berlayar.
“Manusia itu dibekali akal. Kenapa kamu tidak memberdayakan semua itu? Toh kamu cukup cerdas, hanya saja kamu tidak mempergunakan kecerdasamu Rax,” ungkap Kiblat si mata Elang ahli filsafat itu kepadaku.
Aku mencoba merenungi ucapan kiblat yang terus bergerumuh, biasa ucapan orang bijak, wajar saja orang memanggilnya suhu. Ah! Kiblat sahabatku. Masih ada tidak buku kegilaannmu yang kamu tulis dulu. Masih ada tidak hinaan tentang diriku saat kita bertemu di Jogja dan kamu melontarkan ejekan betapa bodohnya aku meningggalkan dunia ketigaku yang telah kujalani bersama Giel.
“Rax kamu adalah perempuan yang susah dipahami,” kata Kiblat lagi saat menyusuri Mallioboro. Giel masih mengagumimu sebagai manusia yang sempurna. Perempuan yang paling diimpikan karena cukup sempurna. Kamu memiliki kemandirian, ketegaran, kecerdasan, yang tidak dimiliki perempuan lain.
Sayang, kamu sombong dan angkuh tidak mampu memaknai harapannya. Padahal satu kata saja, “ Ya”. “Apa susahnya mengatakan kata Ya?” tanya Kiblat.
“Apa yang kamu cari? Hidup toh hanya sekali. Semua telah ada pada Giel. Karir, masa depan. Mengapa kamu mempertahankan Win,” tanya Kiblat penasaran.
“ Yah…. Aku bukan angkuh. Toh aku telah memaafkannya tapi untuk kembali kepadanya ke titik nol aku harus berpikir seribu kali lipat,” ucapku.
” Ih…Aku paling benci perselingkuhan. Toh sekarang aku menjalani sesuatu dengan seseorang bernama Win, “ kataku kepada Kiblat.
”Lalu, apa bukti dia berselingkuh, feelingmu yang bisa merasakan sesuatu dengan kuat, semedimu yang kamu andalkan, atau indra keenammu yang sanggup membaca pikiran orang lain,” tanya Kiblat sambil geleng kepala.
Semua kupergunakan, Kib. Tapi ada satu hal paling kudepankan. ”Apa?” Tanya Kiblat lagi.
“ kebenaran .“ kataku, kulihat Kiblat kaget dengan kataku barusan.
“Apa, tolak ukurmu tentang kebenaran, Rax? “ Aku hanya diam. Malas aku menjawabnya apalagi menjelaskannya. Seandainya kamu tahu Kiblat, aku selalu mempergunakan semuanya. Kebenaran. Karena benar yang kupahami ketika ide sesuai dengan realita. Itulah arti benar.
Seandainya semua paham. Aku tidak sombong, aku juga tidak angkuh. Aku hanya konsisten dengan pilihan. Aku memaafkannya tapi tidak untuk memulai dari nol lagi bersama Giel. Toh dia ada dibelahan dunia lain. Aku telah melupakan Giel. Giel yang telah memporak-porandakan cintaku menjadi berkeping-keping akibat perselingkuhan. Suatu kecerobohan dan menurutkan sebuah tindakan konyol dan tidak akan pernah kulupakan.
Sekarang konsentrasiku pecah bersama Win, Meski Win susah diajak kompromi, banyak perbedaan dan ujung-ujungnya ketidak cocokan. Lalu apa keputusanku? Meninggalkan tanpa sebait kalimat. Tidak! Aku sudah dewasa untuk membahasakan semua. Lalu kapan ? Jika ada waktu ?
“kenapa Rax?” tanya Kiblat mengagetkanku
“Ih… Jenuh dan bosan, aku hanya kasian dengan kapal yang sekarang kami jalankan. Entah mau disetir kemana kapal itu,” kataku dengan nada sedikit datar dan mengandung makna pesimis.
“ Seharusnya ada kompas yang bisa menentukan arahnya,” tawar Kiblat.
“Kalau begitu, biarkan saja kamu mengalah terjun ke laut meninggalkan kapal itu, Rax. Biar saja Win, membawanya pergi sendiri, terserah mau di bawa ke mana,“ tawar Kiblat lagi.
Aku hanya bisa memandangi wajah Kiblat. Entahlah….Saya sendiri juga nggak tahu mesti gimana. kata-kata Kiblat sebenarnya masuk dan menyentuh hatiku. Entah akan aku realisasikan atau tidak.
Mungkin aku akan memikirkan kata-katanya. Toh, Tuhan telah mengatur hubungan emosional setiap manusia. Manusia hanya bisa berjuang tapi tak ada yang mampu melawan takdir. Suatu saat semua pasti terjawab.


1 Oktober 2003

No comments: